Fragmen 17

1.1K 12 0
                                    

Smaradhana

Ratih Dewi, citra khayalku,
prana dalam diriku,
yang haus asmara...
Nikmatnya bercinta...

Andika Dewa,
sirna duli Sang Smara,
Merasuk sukma,
menyita heningnya cipta...
Resah ku jadinya...

Prahara nestapa seakan tak kuasa
membendung asmara insan sedang bercinta
Gelora asmara di samudra cita
melenakan daku dibuai cinta...

Adalah Sang Smara, Sang Dewa Cinta, yang dibakar menjadi abu oleh mataketiga Hyang Shiwa karena mengusik meditasi Sang Mahadewa. “Meski Sang Smara sudah tak mempunyai raga, dia akan tetap hidup. Hidup dalam raga mahluk dunia,” berkata Sang Shiwa. Maka, disebarkalah abu Dewa Smara ke Marcapada, dunia fana.

Didorong oleh rasa cintanya, Dewi Ratih, Sang Dewi Asmara ikut menyusul suaminya ke dunia. Smara hidup tanpa wujud dalam hati laki-laki, sementara Ratih bersemayam dalam hati perempuan. Rasa hati di dalam setiap manusia hadir dari peran mereka. Mereka yang selalu terpisah dan selalu ingin untuk bersatu, walau kesempatan itu tidak mudah. Terjal dan berbatu.

Keterpisahan dan penemuan kembali. Adam dan Hawa yang terusir dari Paradiso, Pohon pengetahuan atau dengan apapun ia digambarkan. Manusia menghabiskan setengah hidupnya untuk menemukan belahan jiwanya yang terpisah jasad, yang dulu pernah berjanji di alam Ruh untuk saling menemukan ketika terlahir di dunia.

###

Indira mengira bisa menemukannya dalam diri Dewa, mahasiswa kedokteran tampan, panitia kejuaraan bola basket tempat sekolahnya bertanding 2 tahun yang lalu. Dewa memang tampan dengan darah setengah bule seperti dirinya. Apalagi pemuda itu tercatat sebagai mahasiswa kedokteran tahun kedua. Sebuah alasan mutlak yang bisa membuat gadis manapun tergila-gila padanya.

Namun bukan itu yang membuat Indira jatuh cinta pada Dewa. Ngurah si Ketua Osis atau Gung Putra si Center Klub basket jauh lebih tampan dan lebih macho dari Dewa - yang menurutnya cenderung metroseksual. Permasalahannya, ada yang unik dari diri pemuda itu. Dewa benar-benar sulit ditebak! Dewa seperti segelas minuman yang lezat, tapi dia tidak membiarkan Indira menenggak habis. Dibiarkannya bibir gadis itu mencicip sedikit, sebelum menjauhkan gelasnya. Hingga tinggal Indira yang penasaran setengah mati.

Hari ini ia memuji potongan rambut Indira yang baru; besoknya dia bisa mencela sifat manja Indira. Di dalam Mall dia menolak membawakan barang belanjaan Indira; namun di parkiran kepala Indira sudah dipayungi dari hujan dengan jaketnya. Pernah di hari jadian mereka, Dewa alpa membawa bunga hingga Indira menangis; namun ketika hendak pulang baru nampak seekor boneka beruang raksasa yang membuat tangis Indira makin menjadi.

Dewa tidak pernah terlalu memuji, tetapi menantang Indira untuk lebih baik. Dewa tidak mengejar-ngejarnya seperti cowok-cowok lain, tapi membiarkan Indira yang mengejar-ngejarnya. Dewa tidak melakukan apapun yang diminta Indira, Dewa dapat menolaknya dengan tegas terlebih bila permintaan itu tidak masuk akal, meski harus melihat Indira berguling-guling di tanah sekalipun.

Namun Dewa juga selalu berhasil memberi kejutan yang tak disangka-sangka bagi sang gadis kecil. Masih jelas teringat dalam benak Indira, ketika Dewa mengajaknya makan malam di rumah sang kekasih di daerah Bukit Ungasan, Jimbaran.

“Dewa, apaan sih, gelap nie...,” rengek Indira lucu, karena matanya sedang ditutup kain. Indira yang terbalut gaun panjang warna putih tentu kesulitan untuk berjalan. Dalam tutup itu, sanubari Indira dipenuhi ratusan debaran yang demikian penasaran. Benaknya dipenuhi sekian gerangan, mencoba menerka kejutan apakah yang akan diberikan Sang Pangeran?

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang