Fragmen 32

1.7K 13 0
                                    

Dancing In The Moonlight

"We get it on most every night
When that moon is big and bright
It's a supernatural delight
Everybody's dancing in the moonlight"


Sepasang mata Sheena mengawang ke arah Ava yang duduk bersama Indira di beton pemecah karang. Ujung-ujung tungkai mereka tercelup di permukaan air yang bercahaya redup, memantulkan sinar pucat bulan sabit yang berpendar di langit gelap.

Setelah berdansa pelan, mereka bertiga memutuskan berjalan-jalan menyusuri bibir pantai. Malam minggu masih bersisa cukup panjang untuk menghabiskan beberapa bungkus rokok lagi.

Ujung utara pantai Kelan adalah areal Bandara Internasional Ngurah Rai yang dibatasi dengan pagar kawat tinggi, namun menurut Bob, justru disitulah spot terbaik untuk menikmati pantai tersembunyi ini.

Yakni beton pemecah gelombang yang memagari Bandara Ngurah Rai yang menjorok ke laut. Cocok untuk berkontemplasi, kata Bob sambil terkekeh.

Malam ini mereka bertiga menikmati waktu yang sesaat seperti dihentikan Tuhan untuk mereka. Sheena yang diburu masa lalu, Indira yang tersesat di jalan kehidupan, Ava yang memburu masa depan, dan kali ini mereka menikmati saran Bob untuk menikmati saat ini.

Ketiganya kini duduk di beton pemecah gelombang tepat di samping landasan pacu. Di depan mereka terbentang laut yang berwarna perak-kehitaman, sementara di belakang mereka pesawat lalu lalang yang hendak tinggal ataupun lepas landas.

"Yakin kita boleh nongkrong di sini?" Ava tersenyum kecut. Pesawat Jumbo Jet melintas cepat tepat di atas kepala. Suaranya meraung keras, disusul decit ban yang bergesek pada aspal landasan pacu.

"Ya elah, ditanyain pada diem... " Ava melotot ke balik pagar alumunium yang mengelilingi komplek bandara Ngurah Rai.

Di kejauhan pesawat yang baru saja mendarat menimbulkan asap yang melayang tipis di atas lapisan aspal.

"Nggak apa, kali. Ini kan di luar areal bandara. Lagian, kalau sore-sore banyak orang yang nongkrong di sini. Romantis," imbuh Sheena, memandangi pantulan wajahnya di permukaan air yang bercahaya.

"Cie cie, emang kamu pernah nongkrong sama siapa di sini?"

"A-apaan, sih? kepo, tahu," dengus Sheena kesal, menonjok Ava kuat-kuat.

###

6 bulan mereka tinggal berdampingan, namun hanya saling sapa ala kadar, seolah ada dinding tebal yang dibangun Sheena untuk membatasi diri dari orang yang selalu berhasil mengingatkannya pada Awan.

Namun kali Ava tidak menyahut lagi, hanya tersenyum lebar ke arahnya sambil terkekeh-kekeh. Sheena segera membalas, tersenyum kecil, sebelum memalingkan wajah ke arah lampu di kejauhan yang berpendar malu-malu, berupaya memungkiri bahwa tembok tebal yang dibangunnya selama 6 bulan terakhir perlahan runtuh, satu persatu.

Deburan air menciprat ke udara sebelum kulit wajahnya sempat berubah warna. Ava dan Sheena segera menoleh ke asar suara dan mendapati Indira sedang berenang sambil tertawa-tawa.

Dress putih dan flat shoes-nya sudah terlipat rapi di atas beton pemecah ombak, dan si gadis kecil kini sedang asyik menampari permukaan air dengan tungkai-tungkainya.

"Ava! Kak Na! Ayo ikutan! Seru, tahu!" Dalam balutan bikini, Indira menjerit sambil tersenyum-senyum sendiri.

Kenaikan kadar alkohol ditambah efek psikotropika kanabis agaknya memicu produksi dopamin berlebihan sehinga memutus urat-urat malunya.

"Indira! Kamu ngapain?!"

"Kapan lagi bisa berenang di samping landasan pacu!" jeritan Indira ditenggelamkan gemuruh mesin jet di atasnya.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang