Fragmen 36

861 10 0
                                    

Mencari Harapan

Bulan sabit yang bersinar dua hari yang lalu kini berganti bulan mati yang hitam, membuat langit Ubud demikian legam. Malam itu hanya ada cahaya bintang yang bersinar ragu-ragu, juga hening yang diselang-selingi suara salakan anjing yang melolong-lolong entah dari mana.

Sampai terdengar deru skuter butut menyeruak, memecah hening dengan bising yang mengganggu.

"Ajik sudah berangkat?" tanya Kadek, saat memarkir skuternya di halaman Villa.

"Sudah 3 jam yang lalu." Sheena menyahut tanpa menoleh, sibuk menggoreskan pensil di atas sketch book di teras.

"Aduh." Kadek menepuk kepalanya.

"Padahal saya mau pinjam blakas, buat besok."

"Oh, iya.. Ajik tadi nitip ini sama saya." Sheena menyodorkan parang yang dibungkus koran.

"Oh, sip! sip...! "Kadek mengangguk lega.

"Eh, kamu nggak ikut ke Hotel Patra?"

Sheena menggeleng.

Dirinya bisa membayangkan situasi di pesta nanti, orang-orang yang tertawa-tawa dan gelas sampanye yang saling berdenting, dan malam ini Sheena sedang tak ingin mual.

Dan lagi, setelah kejadian di sungai kemarin, membuat hubungannya dengan Indira sedikit canggung.

"Eh, tadi Indira pergi pakai baju apa? Cantik, nggak?"

"Cantik," Sheena menjawab pendek, dan kembali sibuk pada sketsanya.

Sheena menghela nafas. Ia tahu, dirinya bukan cinderella, dan tak akan ada ibu peri yang menyulap gaun dan kereta dari labu untuknya, terlebih lagi: malam ini ia sedang tidak ingin dibandingkan dengan bidadari.

Sheena menatap langit yang tak berbulan, mencari harapan.

###

Besok malam Pak De berangkat ke Paris untuk menghadiri pameran tunggalnya di Louvre. Malam ini dia mengadakan semacam perjamuan untuk kolega dan sesama seniman di The Patra Bali Resort, kompleks hotel dan Villa yang terletak tepat di utara Bandar Udara Ngurah Rai.

Kolam yang membentang tepat di tepi laut nampak berkilauan ditimpa nyala puluhan obor yang dipasang di sekitar lokasi acara.

Beberapa tamu dan undangan, dari seniman hingga Gubernur Bali mulai tampak memadati taman dan meja-meja yang dipenuhi hidangan internasional, sambil diiringi alunan musik live yang dimainkan melalui grand piano dan seorang biduanita yang tak henti bernyanyi.

Lima layar raksasa dibentangkan dan di sorot dengan proyektor, memamerkan foto lukisan Pak De yang diberangkatkan ke Paris, membuat tamu yang datang berdecak kagum melihat keindahan tubuh-tubuh telanjang yang terpampang di sana.

Sang Mestro sendiri berdiri layaknya bangsawan flamboyan, berdiri gagah dengan segelas sampanye di tangan sambil dikelilingi tamu-tamu kehormatan yang menatap kagum ke arahnya, termasuk Ava.

Pemuda itu hanya bisa berdiri dari kejauhan, memandangi seniman idolanya dengan takzim dan penuh kekaguman.

"Hei, bengong aja! Pasti ngeliatin cewek cantik, ya." Indira sudah berdiri di samping Ava, melirik ke arahnya.

"Ih, nggak rapi banget, sih!" omel Indira.

"Ah, masa?" belum sempat Ava menjawab, tahu-tahu Indira sudah berdiri tepat di hadapannya, memperbaiki kerah baju Ava.

Sekujur otot Ava mendadak kaku, melihat bidadari mungil yang tersenyum cerah tepat di depan mukanya.

Malam ini Indira mengenakan dress backless panjang warna krem, menggantung anggun dari leher, dan menampakkan jelas lekuk tubuh sang bidadari.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang