Fragmen 39

826 6 0
                                    

Sajak yang Tak Sempat Bersuara​

Lembayung warna jingga memayungi areal persawahan dan mobil mini cooper yang melintas perlahan. Ava menurunkan visor, agar matanya tidak terlalu silau tertimpa sinar matahari yang menyeruak dari balik pohon kelapa di kejauhan.

Di bangku belakang, duduk Indira yang tercenung memandangi barisan pematang yang bertingkat, setelah barusan menerima telepon dari ayahnya yang hendak boarding.

"Jangan dipikirin!, gek! nanti Kak Gede juga ikut kepikiran!" Lucille yang duduk di samping Ava membuka suara.

Indira tidak menjawab, hingga hanya ada hening sampai mobil tiba di candi bentar Villa Pak De.

Kadek yang duduk di teras, menyerbu Ava dengan pertanyaan.

"Ajik gimana? Sudah berangkat? Sehat? "

"Sehat Dek! sudah boarding barusan."

Kadek manggut-manggut.

"Oh iya! Sheena!"

"Kenapa?"

"Ng-anu! Tadi pamit!" Kadek terdiam lama.

"Hah? sekarang anaknya mana? Udah berangkat?" Ava berkata, sedikit panik.

"Hoi!" Sheena berteriak, tiba-tiba muncul dan cengar-cengir sambil menggotong ranselnya.

Ia sudah mengenakan pakaian kebanggaannya celana jins belel dan jaket jins lusuh penuh emblem band punk, lengkap dengan kaca mata hitam model retro.

"Kak Na? mau ke mana?" Indira berkata, agak khawatir.

"Pulang kampung, hehehe!" Sheena mencoba tertawa, tapi ada riak di wajahnya yang tidak bisa dibohongi saat Indira menggenggam tangan Ava.

"Ini mau dianter Kadek sampai terminal Batu Bulan. Yuk! Dek!" Sheena melangkah buru-buru ke arah vespa Kadek, saat Indira menggamit lengan Ava semakin erat.

Kadek menghela nafas menyadari raut Ava yang juga mendadak berubah.

"Aku harus bantu ngelawar di rumah, Ava aja yang nganter ya?"

"Apa?"

Kunci motor melayang di udara, dan segera ditangkap Ava. Bersamaan dengan Indira yang menghambur memeluk Sheena.

"Kak Na! Indira mendekap tubuh Sheena, erat. Kak Na! balik lagi, kan?"

"Iya Balik lagi kok! Pasti!" Sheena membelai rambut Indira.

"Pasti!" Sheena berbisik lagi, kali ini untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Indira tertawa, tapi sedikit tercampur tangis yang tercetus satu-satu.

"Sedih! banget! tadi habis ditinggal Ajik! sekarang ditinggal Kak Na!"

Sheena mencoba tersenyum.

"Kan udah ada Tante Lucille...!" Sheena terdiam,

"Dan Ava!"

Indira tak mejawab, hanya memeluk Sheena erat-dan lebih erat lagi.

"Dira sayang Kak Na!"

Dan Sheena pun tahu, ia juga sudah jatuh sayang pada Indira, dan Sheena tak ingin Indira kehilangan lebih banyak lagi.

###

Demikianlah, hidup seperti dua sisi uang logam yang saling bertautan. Gelap-Terang, Hidup-Mati, Paradiso-Inferno, Rwa Bhineda. Dan pada pertemuan pasti ada perpisahan.

Dan setiap yang hilang akan digantikan oleh yang datang. Semua berputar terus dan saling balik membalik, seperti roda kehidupan, yang terus melaju tanpa tahu kapan akan terhenti.

Dan sepanjang perjalanan itu, mulut Sheena tetap mengatup. Sheena hanya bisa melingkarkan tanganya di pinggang Ava, meresapi. Menikmati perjalanan yang pasti akan berakhir.

Seperti hidup, yang hanya menempuhi satu titik ke titik lain sebelum berakhir di penghujung.

"Have to go!" kata Sheena begitu sampai di tujuan.

"Hati-hati, ya!" Ava tersenyum, dan Sheena mendapati lagi tatapan itu.

Sheena mengangguk, tak sempat menjawab. Karena sedetik kemudian ia sudah mendapati tubuhnya berada dalam rengkuhan Ava.

Sheena memejam, sedapatnya menikmati hangat yang membungkus seluruh tubuhnya, dan pasti akan terlepas, entah sedetik atau tiga detik yang akan datang.

Sheena menyadari itu: 'ia, kamu, kita, semua' tidak pernah memiliki. Bumi yang ia pijak, juga langit yang membentang berlapis-lapis di atasnya bukanlah kepunyaannya.

Bahkan nyawa yang mengalir di darahnya, dan sepasang jantung yang saling berdegupan hanyalah barang titipan yang bisa diambil sewaktu-waktu. Dan Sheena, sudah dipinjami tiga hari terindah dalam hidupnya.

Juga 15 detik dalam dekapan yang tak pernah ia lupakan.

Semua hanya titipan.

Dan kita tidak akan pernah merasa kehilangan.

Karena kita tak pernah memiliki.

Sedetikpun.

###

"Lho katanya sibuk ngelawar?" kata Ava saat melihat Kadek duduk santai di teras.

Kadek hanya terkekeh penuh arti saat Ava mengembalikan kunci motor kepadanya.

"Akhirnya gimana, Sheena?"

Ava mengangkat kedua bahunya, sebelum melangkah lunglai ke arah gazebo.

Lesu, Ava memasuki kamarnya, dan mendapati sebuah kertas terlipat di atas meja kecil.

Setengah ragu, ia membuka lipatan itu hati-hati: Sebuah sketsa digambar pensil. Suasana warung tenda yang hangat, juga gambar dirinya dan Sheena sedang menikmati sate-gule, dengan latar panggangan yang mengepulkan asap.

Di bawahnya dibubuhkan tulisan yang luntur oleh sesuatu.

"Tolong jaga Indira. Aku akan menemukan langitku."

Ava mendekap kertas itu erat-erat. Seharusnya Sheena hanyalah karakter figuran yang sekedar lewat.

Namun sesuatu dari sketsa itu, membuatnya merasa mengenal Sheena lebih dari 6 bulan yang sekedar mampir. 'Lebih dari itu'

Ava menatap ruangan yang mendadak lenggang, juga tawa kemarin pagi yang masih terngiang-ngiang. Sebelum akhirnya ia menyadari, ternyata masih ada banyak hal yang belum sempat dikatakan kepada Sheena -banyak hal-.

Sajak tetap rahasia
bagi dia yang tak pernah
mendengar suara nyawa.

Kata-kata tersembul dari alam lain
di mana berkuasa sakit, mati
dan cinta. Kekosongan harap
justru melahirkan ilham
yang timbul-tenggelam dalam arus
mimpi. Biarlah terungkap sendiri
makna dari ketelanjangan bumi.

Masih adakah tersisa pengalaman
yang harus terdengar dalam bunyi?

Sajak sempurna sebaiknya bisu
seperti pohon, mega dan gunung
yang hadir utuh tanpa bicara​


To Be Continued

By by

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang