Fragmen 5

1.2K 15 1
                                    

                          Menyama Braya

Hanyalah sesosok pohon beringin yang berdiri angkuh bak raksasa hijau di sekian sisa aroma kematian. Daunnya demikian merimbun, bertumpuk-tumpuk menghalangi jatuh cahaya ke puluhan orang yang berlalu di bawahnya. Ava berjalan dengan takut-takut, menghindari akar gantung yang menjuntai ke sampai tanah. Pohon Beringin itu nampak benar-benar wingit, apalagi dengan kain kotak-kotak hitam-putih yang dilingkarkan di sekelilingnya.

Pagi itu hari Minggu, Galeri Pakde tentu tidak buka di hari Minggu. Maka Ava dan Kadek menyanggupi untuk menggantikan Pak De kerja bakti membersihkan areal Pura Dalem, yakni tempat peribadatan yang terletak di sekitar pekuburan untuk pemujaan alam kosmis demi menetralisir kekuatan positif dan negatif.

Pekuburan itu nyaris tanpa nisan, karena prosesi pemakaman di tempat ini mengharuskan jenazah si Mati di lebur dalam api –pralina (Penyucian) -dilebur oleh Sang Siwa, sehingga menyisakan bade (Keranda jenasah) -sarkofagus wadah jenazah-, dan pelepah pisang yang tak habis terbakar, dibiarkan teronggok begitu saja di antara rerumputan yang meninggi. Ava sedikit bergidik melihat karangan kembang kertas yang sudah mengering terkelupas di dekat kakinya, menebarkan sisa murung kematian ke seantero Setra(Pekuburan) .

Ava menebas rerumputan itu dengan arit bersama puluhan warga lain. Jelas sekali Ava tampak ragu-ragu membaurkan diri. Ava takut kejadian seperti Indira terulang lagi, apalagi dengan nama dan penampilan brewoknya.

“Oh, murid Pak De, nggih?” kata seorang bapak-bapak yang mengenakan kaos partai sambil tersenyum.

Namun Ava keliru, ternyata para warga di sini sangat ramah.

“Nggih,” jawab Ava, karena dia tahu inggih di sini dan di Jawa tidak berarti berbeda.

“Gus nak Selam (Islam) ?” kata seorang lagi yang agak botak.

Ava menoleh ke Kadek –tidak mengerti artinya, Kadek menjelaskan maksudnya, “Adik agama Islam?”

“Nggih,” jawabnya, meskipun Ava tahu dia cuma Islam KTP. Ava agak takut, takut menerima reaksi seperti Indira pagi tadi.

Ternyata para warga bertambah ramah, bapak berkaus partai itu berkata, “di sini orang Selam dengan orang Bali sudah lama bersaudara -menyama braya(Bersaudara) -.”

Kemudian warga bercerita tentang persahabatan Raja Gianyar dengan Raja Demak, juga para pedagang Muslim yang menjalin hubungan dengan penduduk desa di masa lalu. Ava cuma manggut-manggut mendengarnya.

Beberapa lama mereka berbincang akrab sambil bersih-bersih, sampai Ava mulai curhat kepada Kadek.

“Dek, Indira marah sama aku nih,” kata Ava sambil mengayun-ayunkan arit tumpul-nya, butuh sedikit tenaga agar bisa memotong rumput yang sudah meninggi itu.

“Cie, Kalian itu tiap hari adaaa saja yang diributin! Bertengkar pertanda cinta, bro! Kamu kayak nggak pernah nonton FTV aja!” Kadek sepertinya sengaja menggoda Ava, dengan menjelaskan bahwa percintaan dalam film komedi romantis, selalu berawal dari kejadian percekcokan antara dua pemeran utama.

“Beh, kamu tuh... beneran, nih!” Ava mengayunkan aritnya asal-asalan sehingga tak sedikitpun rumput itu terpotong. “Nggak kayak biasanya, kali ini Indira bener-bener marah!”

“Udah, nyante aja, nanti lama-lama juga baik sendiri,” kata Kadek bagai acuh tak acuh. “Eh, tapi bener, kan? kamu naksir Indira.”

Ava menimpuk Kadek dengan kerikil. Kadek mengelak sambil tergelak.

“Jangan mimpi terlalu tinggi, nanti jatuhnya sakit,” ledek kadek tanpa beban.

Bukan itu, batin Ava pada dirinya sendiri sambil menyabetkan aritnya dengan lebih galau lagi. Ada sesuatu yang mengganggu benaknya, namun Ava tak tahu persis apa. Semenjak ia menjejakkan kaki di Pulau Dewata, tak sedikit hal yang mengganggu perasaan Ava dan dirinya bahkan tidak tahu harus mengurai dari mana. Benak Ava mencoba menghubungkan satu demi satu potongan teka-teki, berusaha mencari sebuah konklusi.

“Kadek... aku mau tanya...” Ava berdehem, “tentang kakak... dan ibunya Indira...”

“Hush!” Kadek langsung melotot. “Aku lupa kasih tahu, pokoknya jangan sekali-kali kamu ungkit-ungkit masalah kakak dan ibunya Indira! Nggak ke Pak De, nggak juga ke Indira!”

“Kenapa?”

“Ceritanya panjang...,” desis Kadek dengan pandangan mengawang, merunuti satu-persatu alang-alang yang tumbuh di sela-sela batu nisan. Sinar matahari menelusup dari sela daun pohon beringin raksasa yang merindangi pemakaman tersebut, jatuh menjadi larik-larik cahaya yang merupa tirai bagi sebuah kisah yang mulai disingkapkan oleh Kadek. Ava tertegun lama, hanya bisa menyimak dalam diam.






Jangan lupa Like dan Comment.
Terima kasih.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang