Fragmen 2

1.8K 18 2
                                    

                                 Manjus

Senja mulai menjelang ketika Ava selesai berbincang dengan Kadek dan Pak De. Bergelas-gelas kopi yang sudah tandas dan pisang goreng yang tinggal bersisa sepotong menandakan lamanya percakapan Sang Maestro dan calon muridnya.

"Woi, rajin amat," goda Kadek pada juniornya itu.

"Jelas, dong," sahut Ava tanpa menoleh.

Ava sedang sibuk mencuci gelas bekas kopi, ketika Kadek menepuk pundaknya dari belakang. Sebenarnya sudah ada Mbok Ketut dan Mbok Nengah, pembantu rumah tangga di Villa Pak De, juga beberapa karyawan yang membantu di tempat itu, namun Ava terlalu tidak enak hati kalau tidak mencuci gelasnya sendiri.

"Ada apa, Dek?" Ava berkata acuh tak acuh.

“Ava, manjus, yuk!"

“Apa? Maknyus?”

“Manjus, artinya mandi!”

“Ooh, kamu duluan aja, Dek.” Ava menjawab malas, karena masih harus membilas sebuah gelas kotor dengan ampas kopi di dasarnya.

“Ah, nggak seru! Ayo manjus sama-sama!”

“Hah!” Gelas yang sedang sedang dicucinya cuci jatuh di bak cuci piring, untung tidak pecah.

“Hahaha... Santai aja... aku sudah punya pacar kok!” kata Kadek.

“Pacarmu... cowok?” tanya Ava takut-takut.

“Hahaha...” Kadek malah tertawa-tawa sambil menyeret tangannya.

Skuter Kadek melewati jalan tanah yang agak menjauh dari desa. Di kiri-kanan terdapat areal persawahan yang menguning, siap untuk dipanen. Langit sudah mulai memerah, tanda matahari hampir beranjak ke peraduannya. Kumpulan burung melintas, menimbulkan bunyi dengung yang menggaung di udara. Suaranya ditenggelamkan bunyi skuter butut yang terkentut-kentut.

Handuk yang tergantung di leher Ava berkibar diterpa angin sore. Ava tidak habis pikir, kenapa dirinya mau-maunya menuruti ajakan Kadek. Mandi bersama-sama? Yang benar saja! batin sang pemuda.

Di ujung jalan, mereka berkelok menikung. Menyusuri pinggiran saluran irigasi yang terbuat dari beton.

Beberapa wanita sedang asyik mandi di saluran irigasi yang terletak di pinggir jalan kecil itu. Sebagian mengenakan kemben, sebagian dengan santainya mencuci baju sambil bertelanjang bulat di dalamya. Mereka cuek melihat Kadek dan Ava melintas, meskipun ada beberapa yang tampak rikuh menyadari kehadiran Ava yang notabene orang asing di desa itu sehingga langsung berjongkok ke bagian air yang lebih dalam.

Memang tak semuanya memiliki tubuh yang indah, namun di mata Ava –dengan segala keindahan alamnya- semua tampak begitu indah, seperti cerita orang-orang dulu, seperti lukisan yang sering dilihatnya!

“Dek! Aku pikir sekarang sudah nggak ada orang mandi di sungai!” jerit Ava takjub.

“Di Bali Barat memang sudah nggak ada! Tapi semakin ke Timur semakin kaya gini!”

“O-oooh.”

"Melestarikan budaya," kata Kadek lagi, dan Ava hanya bisa manggut-manggut mendengar penjelasan itu. Sepengetahuannya di daerah pedesaan memang masih ada penduduk yang mandi di tempat terbuka, namun ia benar-benar tidak menyangka di pulau yang diserbu arus modernisasi seperti Bali, dirinya masih bisa menjumpai pemandangan seperti ini.

Kadek memarkir motornya di pinggir jalan, di samping berapa motor yang sudah lebih dulu terparkir. Ava mengikuti Kadek dari belakang. Mereka berjalan di jalan setapak yang sedikit curam, menuruni tebing yang diteduhi tanaman paku-pakuan, hingga akhirnya terdengar suara bergemericik dari kejauhan. Ava menyibak daun pisang yang menutupi jalan, dan dia segera disambut oleh pemandangan yang eksotis. Sungai kecil yang dipenuhi batu dan dirimbuni pepohonan. Airnya mengalir jernih, sehingga dasar sungai yang dipenuhi batu tampak jelas. Suara air mengalir bergemericik menyelinap di antara batu besar.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang