Ning Zhongze sendiri juga beranjak sambil berkata, "Selama setengah bulan ke depan kau harus lebih giat belajar. Urusan ini sangat penting karena menyangkut masa depanmu. Jangan anggap remeh."
"Baik, Ibu Guru...." jawab Linghu Chong. Sebenarnya ia juga berniat memberi tahu Nyonya Yue tentang gambar yang ia temukan di dalam gua belakang serta pria bercadar misterius. Namun, ibu-gurunya itu sudah melambaikan tangan diiringi senyuman hangat, kemudian melesat pergi menyusul sang suami dengan langkah lebar.
Kini tinggal Linghu Chong seorang diri. Diam-diam ia berpikir, "Mengapa Ibu Guru berkata urusan belajar ilmu silat bisa menyangkut masa depanku? Mengapa untuk menyampaikan pesan ini Beliau harus menunggu sampai Guru pergi? Jangan-jangan... jangan-jangan...."
Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benaknya, membuat jantung berdebar-debar. Tak terasa pipinya pun bersemu merah menahan malu. Ia tidak berani berpikir lebih dalam lagi, namun di lubuk hatinya yang paling dalam timbul sebuah harapan, "Jangan-jangan Guru dan Ibu Guru mengetahui kalau sakitku ini karena memikirkan Adik Kecil. Apakah Beliau berdua berniat menjodohkan kami? Namun syaratnya aku harus rajin berlatih supaya dapat mewarisi semua kepandaian Guru, baik itu tenaga dalam ataupun ilmu pedang. Agaknya Guru merasa segan bicara terang-terangan. Sebaliknya, Ibu Guru sudah menganggapku seperti anak sendiri sehingga setelah Guru pergi, diam-diam Beliau menyampaikan pesan ini kepadaku."
Menyadari hal itu, semangat Linghu Chong bangkit kembali. Ia pun menghunus pedangnya dan mulai memainkan jurus-jurus paling ampuh yang pernah diajarkan sang guru. Akan tetapi bayangan gambar di dalam gua senantiasa menghantui pikirannya. Maka, setiap kali ia memainkan suatu jurus dengan sendirinya pada saat itu pula ia membayangkan bahwa jurusnya itu dapat dipatahkan musuh.
Pikiran Linghu Chong menjadi terpecah dan sulit untuk diajak berkonsentrasi. "Mengenai ukiran-ukiran itu aku belum sempat menyampaikannya kepada Guru dan Ibu Guru. Ah, nanti saja kalau Beliau berdua datang lagi kemari dan mengamati gambar-gambar itu, tentu semua tanda tanya bisa dipecahkan."
Begitulah, meskipun ucapan Ning Zhongze mengandung dukungan dan memberikan semangat Linghu Chong namun latihannya selama sehari penuh itu tidak menghasilkan apa-apa. Sebaliknya, ia kembali berkhayal tentang hubungannya dengan Yue Lingshan.
"Kalau benar Guru dan Ibu Guru berniat menjodohkan Adik Kecil dengan aku, apakah Adik Kecil bersedia menerimaku secara suka rela? Jika kami menjadi suami-istri, apakah dia bisa melupakan Adik Lin? Ah, aku tidak boleh berpikiran macam-macam. Adik Lin baru beberapa bulan masuk Huashan. Ia hanya berlatih bersama dengan Adik Kecil untuk meminta petunjuk darinya, serta menjadi teman bermain Adik Kecil pula. Mereka berdua tidak memiliki hubungan istimewa selain sebagai saudara seperguruan sehingga tidak bisa dibandingkan dengan hubungan kami yang dibesarkan bersama sejak kecil. Lagipula, Adik Lin pernah menyelamatkan nyawaku, maka aku pun tidak boleh melupakan jasanya. Kelak, jika aku sudah kembali ke perguruan, aku harus selalu baik kepadanya. Jika dia tertimpa masalah dan terancam bahaya, aku siap melindunginya meskipun bertaruh jiwa dan raga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Hina Kelana (Xiaou Jianghu) - Jin Yong
General FictionPendekar Hina Kelana mengisahkan pertarungan antara perguruan yang katanya aliran lurus yang diwakili oleh Wu Yue Jian Pai (Persatuan Lima Gunung Perguruan Pedang) yang terdiri dari Song Shan, Tay Shan, Hen Shan, Hua Shan dan Heng Shan dengan aliran...