Hari berikutnya sampailah mereka di kaki Gunung Henshan. Keduanya berjanji akan bertemu kembali di sekitar Kuil Gantung tiga hari kemudian. Linghu Chong kemudian menuju ke Puncak Jianxing seorang diri, sementara Ren Yingying berpesiar menikmati keindahan pegunungan tersebut.
Hari sudah mulai petang ketika Linghu Chong tiba di Puncak Jianxing. Ia paham Yiqing dan Zhang E sangat cermat, sehingga bila ia langsung menuju ke biara utama tentu akan membuat mereka curiga. Menurutnya, lebih baik menyelidiki secara diam-diam saja terlebih dulu. Segera ia pun mencari sebuah gua sepi untuk beristirahat dan tidur. Ketika terbangun tampak sang rembulan sudah menghias di angkasa. Ia pun bangkit dan bergegas menuju ke Biara Wuse, yaitu biara induk di Puncak Jianxing.
Setibanya di pinggir pagar tembok biara itu, ia mendengar suara benturan senjata berulang-ulang. Linghu Chong terkesiap dan berpikir, "Apakah ada musuh yang datang menyerang? Musuh dari mana kira-kira?" Segera tangannya meraba pedang pendek milik Ren Yingying yang terselip di balik bajunya.
Sepertinya suara itu berasal dari sebuah rumah yang berada puluhan meter di luar Biara Wuse. Tampak cahaya lilin keluar dari balik jendela rumah tersebut. Linghu Chong segera merapat ke dinding dan mendengar suara pertarungan semakin keras dan nyaring. Perlahan-lahan ia mengintai ke dalam melalui jendela. Seketika hatinya langsung lega, karena yang terlihat adalah Yihe dan Yilin sedang berlatih pedang, sementara Yiqing dan Zheng E berdiri menyaksikan. Rupanya mereka sedang berlatih ilmu pedang hasil ajarannya tempo hari, yaitu ilmu pedang Henshan yang terukir pada dinding gua rahasia di puncak Huashan.
Dibanding sebelumnya, permainan pedang Yihe dan Yilin terlihat sudah jauh lebih matang. Pada jurus kesekian, pedang Yihe tampak berputar semakin cepat. Beberapa gerakan berikutnya Yilin agak lengah, sehingga ujung pedang Yihe tahu-tahu sudah mengancam di depan dadanya. Untuk menangkis jelas tidak sempat lagi, sehingga Yilin hanya bisa menjerit lesu.
"Adik, kau kalah lagi," kata Yihe kemudian.
Yilin menunduk malu dan menjawab, "Aku sudah berlatih sekian lama, tapi masih tak ada kemajuan."
"Sudah lebih maju daripada latihan sebelumnya," kata Yihe. "Mari kita coba lagi."
Akan tetapi, Yiqing menyela, "Adik Yilin mungkin sudah lelah, lebih baik tidur saja dulu bersama Adik Zheng. Besok kita bisa berlatih lagi."
"Baik," jawab Yilin sambil menyarungkan pedangnya. Setelah memberi hormat kepada Yiqing dan Yihe, ia lantas menggandeng tangan Zheng E keluar dari ruang latihan tersebut.
Sewaktu Yilin membalikkan badan, Linghu Chong dapat melihat wajah biksuni muda itu tampak pucat dan kurus. "Adik Yilin ini selalu saja berhati murung," pikirnya.
Yihe menutup pintu ruangan kemudian memandang ke arah Yiqing sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setelah suara langkah Yilin dan Zheng E terdengar menjauh barulah ia berkata, "Hati Adik Yilin selalu saja tidak bisa tenang. Hati yang kacau dan pikiran tergoda adalah pantangan besar bagi kaum biarawati seperti kita. Entah bagaimana cara kita harus menasihatinya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Hina Kelana (Xiaou Jianghu) - Jin Yong
General FictionPendekar Hina Kelana mengisahkan pertarungan antara perguruan yang katanya aliran lurus yang diwakili oleh Wu Yue Jian Pai (Persatuan Lima Gunung Perguruan Pedang) yang terdiri dari Song Shan, Tay Shan, Hen Shan, Hua Shan dan Heng Shan dengan aliran...