125. Undangan ke Puncak Timur

2.3K 53 1
                                    

Rupanya si nenek agak gentar terhadap Enam Dewa Lembah Persik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rupanya si nenek agak gentar terhadap Enam Dewa Lembah Persik. Begitu mendengar seruan Linghu Chong, ia terkejut dan langsung menoleh. Maka, kesempatan ini pun dimaanfaatkan Linghu Chong untuk membuka tali pengikat jala dengan sangat cepat dan membiarkan Ren Yingying merangkak keluar. Ketika ia sendiri hendak merangkak, tiba-tiba si nenek membentak, "Kau tidak boleh keluar!"
"Tidak boleh juga tidak masalah," ujar Linghu Chong tertawa. "Di dalam jala ini ada duniaku tersendiri. Di sini aku merasa nyaman, bagaikan di kahyangan. Seorang laki-laki sejati sanggup mengkerut atau memuai sesuai kebutuhan. Saat mengkerut aku masuk jala, saat memuai aku keluar jala. Masalah seperti ini tidak ada artinya buatku. Aku Linghu ...." Seketika ia langsung terdiam begitu pandangannya bergeser ke arah mayat Yue Buqun yang tegeletak di situ. Meskipun mantan gurunya itu berkali-kali hendak mencelakainya, namun ia tidak sanggup melupakan kebaikan Yue Buqun yang sudah merawatnya sejak kecil. Ia menganggap rusaknya hubungan guru dan murid semata-mata hanya dikarenakan Kitab Pedang Penakluk Iblis. Seketika hatinya menjadi pilu dan rongga dada terasa panas pula. Tanpa terasa air mata pun berlinang-linang dan mengucur di pipi pemuda itu.

Sepertinya si nenek tidak mengetahui perasaan Linghu Chong. Ia masih saja marah-marah dan memaki, "Setan cilik, kalau aku tidak menghajarmu, maka rasa benciku tidak akan terlampiaskan!" Usai berkata demikian ia segera mengangkat tangan hendak menampar muka Linghu Chong.

Yilin tampak sedih dan berteriak mencegah, "Ibu, jangan ...."

Sementara itu, Linghu Chong tersadar dari lamunannya dan entah bagaimana tangannya di dalam jala sudah memegang sebilah pedang di luar jala. Rupanya Ren Yingying sempat menyerahkan senjata itu pada saat sang kekasih sedang termangu-mangu.

Begitu senjata sudah di tangan, segera Linghu Chong mengacungkan pedangnya dan menusuk ke arah titik penting di pundak kanan si nenek. Terpaksa perempuan tua itu mundur selangkah.

Melihat Linghu Chong berani melawannya bahkan balas menyerang, si nenek bertambah marah. Tubuhnya bergerak secepat angin. Tangannya menghantam dan kaki menendang bersama-sama. Berkali-kali ia melancarkan tujuh-delapan serangan sekaligus. Namun, Linghu Chong selalu dapat melawannya dengan tidak kalah cepat pula. Pedangnya itu selalu mengancam tempat-tempat berbahaya di tubuh si nenek. Hanya saja, setiap kali ujung pedang hampir mengenai sasaran segera ditariknya kembali. Ilmu Sembilan Pedang Dugu boleh dikata tidak memiliki tandingan di dunia ini. Kalau saja Linghu Chong tidak memberi kelonggaran, mungkin si nenek sudah berlubang-lubang tubuhnya sejak tadi.

Setelah bergerak lagi beberapa jurus, akhirnya perempuan itu menghela napas panjang. Ia menyadari ilmu silat Linghu Chong sangat jauh di atasnya. Maka, ia pun berhenti menyerang dengan raut muka memendam kecewa.

"Istriku," sahut Biksu Bujie menenangkannya, "kita semua adalah kawan sendiri. Untuk apa berselisih?"

"Siapa yang menyuruhmu ikut bicara?" bentak si nenek gusar. Segera ia bermaksud melampiaskan kemarahannya kepada Bujie.

Kesempatan itu segera digunakan Linghu Chong untuk meletakkan pedangnya dan menerobos keluar dari dalam jala. Sambil tertawa ia berkata, "Jika kau ingin melampiaskan kemarahanmu, silakan pukul aku saja!"

Pendekar Hina Kelana (Xiaou Jianghu) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang