22. Pedang Ning Tanpa Tanding

3.3K 69 3
                                    

Linghu Chong menghela napas menyaksikan kematian pasangan suami-istri Lin tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Linghu Chong menghela napas menyaksikan kematian pasangan suami-istri Lin tersebut. Dalam hati ia berpikir, "Yu Canghai dan Mu Gaofeng memaksa Paman dan Bibi Lin membocorkan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis disimpan. Meskipun dianiaya sampai setengah mati, mereka berdua pantang menyerah. Sekarang pun ketika ajal di depan mata, Paman Lin masih juga berusaha merahasiakannya kepadaku. Dia takut aku menggelapkan benda pusaka tersebut sehingga menjelaskan bahwa benda itu bisa mendatangkan malapetaka besar. Hm, kau pikir Linghu Chong ini manusia macam apa? Padahal, mempelajari semua ilmu silat Perguruan Huashan saja aku belum tuntas. Lalu, untuk apa aku harus bersusah payah mengincar ilmu silat orang lain? Kekhawatiran kalian sungguh sia-sia."

Linghu Chong kemudian duduk di lantai bersandar pada dinding untuk mengistirahatkan kakinya sambil memejamkan mata. Tiba-tiba dari arah pintu terdengar suara Yue Buqun berkata, "Pendeta Yu, apakah kau masuk ke dalam kuil ini?"

Seketika Linghu Chong pun berteriak, "Guru! Guru!"

Yue Buqun menjawab, "Chong'er, apa kau berada di dalam?"

"Benar, saya di sini!" jawab Linghu Chong sambil perlahan-lahan berdiri dengan bersandar pada tiang.

Yue Buqun segera masuk ke dalam kuil. Saat itu fajar sudah mulai menyingsing sehingga ia dapat melihat jasad suami-istri Lin Zhennan dengan mudah.

"Apakah mereka ini Ketua Lin dan istrinya?" tanya Yue Buqun kemudian.

"Benar," jawab Linghu Chong. Ia lantas menceritakan semua yang ia ketahui, mulai dari pemaksaan yang dilakukan Mu Gaofeng; bagaimana ia menakut-nakuti dan mengusir Mu Gaofeng pergi; bagaimana kematian Lin Zhennan dan istrinya; serta bagaimana isi wasiat terakhir ketua Biro Pengawalan Fuwei tersebut.

"Apa? Mereka sudah mati?" sahut Yue Buqun ketika melihat pasangan tersebut ternyata telah menjadi mayat dengan keadaan masih terikat di tiang kuil.

Sejenak Yue Buqun termenung, baru kemudian ia berkata, "Dosa Yu Canghai semakin bertambah banyak, tapi ia tidak memperoleh apa-apa."

"Apakah pendeta kerdil itu memohon belas kasihan kepada Guru?" tanya Linghu Chong dengan perasaan ingin tahu.

"Pendeta Yu memiliki sepasang kaki yang sangat gesit. Aku sudah berusaha keras mengejarnya namun jarak kami semakin jauh dan jauh saja," ujar Yue Buqun. Sejenak ia menghela napas kemudian melanjutkan, "Ilmu meringankan tubuh Perguruan Qingcheng memang lebih bagus daripada Perguruan Huashan kita."

"Benar, Guru!" jawab Linghu Chong sambil tetawa. "Apalagi jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat mereka paling hebat di dunia persilatan."

Yue Buqun memasang wajah bengis dan membentak, "Chong'er, jaga mulutmu! Lidahmu memang tajam dan suka bicara tanpa dipikir lebih dulu. Mana bisa kau menjadi teladan bagi adik-adikmu?"

Linghu Chong langsung berhenti tertawa, kemudian berpaling sambil menjulurkan lidah dan menjawab, "Baik, Guru!" Ia memang dipungut Yue Buqun sejak kecil sehingga gurunya itu sudah seperti ayah sendiri baginya. Namun demikian, meskipun sangat menghormati sang guru, ia tetap suka bergurau di hadapan ketua Perguruan Huashan tersebut.

Pendekar Hina Kelana (Xiaou Jianghu) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang