118. Mengutarakan Isi Hati

2.6K 56 2
                                    

Setibanya di bawah pohon, Yilin lantas mengajaknya duduk di atas sebongkah batu panjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setibanya di bawah pohon, Yilin lantas mengajaknya duduk di atas sebongkah batu panjang. Linghu Chong sengaja duduk miring dan membelakangi sinar rembulan agar wajahnya tidak tampak dengan jelas. Dalam hati ia berpikir, "Apakah penyamaranku ini begitu mirip dengan babu bisu itu, sampai-sampai Adik Yilin tidak dapat membedakannya? Mungkin karena tertutup oleh gelapnya malam sehingga lumayan mirip. Ternyata kepandaian Yingying dalam ilmu menyamar memang luar biasa."

Yilin termangu-mangu memandangi bulan sabit di langit sambil menghela napas. Hampir saja Linghu Chong berkata, "Kau ini masih begitu muda, tapi mengapa menanggung beban begitu berat? Sebenarnya ada masalah apa?" Untung saja ia segera ingat pada penyamarannya dan mampu menahan diri.

Terdengar Yilin berkata lirih, "Nenek bisu, kau sangat baik padaku. Aku sering mengajakmu ke sini dan mengutarakan isi hatiku kepadamu. Selamanya kau tidak pernah merasa jemu. Dengan sabar kau menunggu semua kisahku. Sebenarnya aku tidak sepantasnya membuatmu repot. Tapi kau memang sangat baik, bagaikan ibu kandungku sendiri. Aku tidak punya ibu. Jika punya, apakah mungkin aku berani berbicara kepadanya seperti apa yang telah kubicarakan kepadamu?"

Mendengar biksuni muda itu hendak membeberkan isi hatinya, Linghu Chong berpikir, "Sungguh tidak pantas kalau aku mendengarkan rahasia orang lain dan membuatnya tertipu seperti ini. Sebaiknya aku pergi saja." Perlahan-lahan ia pun mencoba bangkit dari duduk.

Namun, Yilin lantas menarik lengan bajunya dan berkata, "Nenek bisu, apakah kau hendak pergi?" Suaranya terdengar penuh dengan rasa kecewa.

Linghu Chong memandang sekejap padanya. Wajahnya tampak sayu, dengan sinar mata penuh permohonan. Perasaan pemuda itu langsung luluh dan berpikir, "Raut mukanya tampak kurus. Jika isi hatinya tidak disampaikan, jangan-jangan ia bisa jatuh sakit. Biarlah kudengarkan semua apa yang akan diceritakannya. Asalkan dia tetap tidak mengenali samaranku tentu dia tidak akan malu." Berpikir demikian, perlahan-lahan Linghu Chong pun duduk kembali.

"Nenek bisu, kau baik sekali sudi mendengarkan isi hatiku," ujar Yilin perlahan sambil merangkul pundak Linghu Chong. "Harap kau mau menemani aku duduk sebentar di sini. Andai saja kau tahu betapa kesal rasa hatiku."

Diam-diam Linghu Chong merasa geli. Ia merenung, "Dalam hidupku ini nasibku memang tidak jauh dari nenek-nenek. Dulu ketika pertama kali bertemu Yingying, aku mengira ia seorang nenek tua. Kini ganti Adik Yilin yang mengira diriku seorang nenek pula. Entak berapa ratus kali aku memanggil nenek kepada Yingying. Kini aku harus bersiap-siap jika Adik Yilin memanggil nenek pula kepadaku. Ini namanya hukum karma, barangsiapa menanam, ia akan menuai hasil perbuatannya."

Yilin terus saja berbicara, "Pagi tadi ayahku hampir saja mati gantung diri, apakah kau tahu? Dia dikerek tinggi-tinggi di atas pohon entah oleh siapa, pada tubuhnya ditempeli pula semacam pita kertas yang menyebutkan bahwa Ayah adalah manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia yang paling doyan perempuan. Padahal seumur hidup, ayahku hanya memikirkan ibuku seorang. Entah atas dasar apa tuduhan itu dialamatkan kepada Ayah? Pasti orang yang memasang pita itu telah salah tempel. Pita yang seharusnya dipasang pada tubuh Tian Boguang justru ditempel di tubuh Ayah. Padahal, sebenarnya ini bukan masalah besar. Cukup robek dan buang saja pita itu sudah habis perkara. Tapi, kenapa pula Ayah harus gantung diri segala?"

Pendekar Hina Kelana (Xiaou Jianghu) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang