10♚

2.5K 149 3
                                    

"Rahasia apa yang lo sembunyiin sampe lo kaya gini Fan..."

Sepanjang perjalanan mulutku tak henti-hentinya berdoa. Aku takut, aku khawatir. Jika ada yang bertanya aku siap atau tidak jika harus dipisahkan olehnya, aku akan jawab tidak. Walaupun aku bukan pacarnya, aku takut kehilangan dia.

Aku membayar taksi tersebut. Persetan dengan uang yang lebih. Aku hanya ingin Rifan. Aku hanya ingin dia baik-baik saja. Aku berlari memasuki ruang tunggu rumah sakit tersebut. Aku bertanya pada suster yang berjaga soal dimana Rifan berada sekarang. Aku sedikit tergesa-gesa menuju kamar Rifan.

R.120

R.121

R.122

R.123 - ketemu.

Ruang 123. Itu Ruang VIP. Ruang dimana Rifan dirawat. Ruang dimana yang menjadi saksi bisu tentang seberapa sakitnya ia saat ini. Aku mengatur napasku sebentar sebelum membuka pintu itu. Memandang pintu bercat putih itu dengan sendu. Aku tidak berani membukanya. Bagaimana jika waktu ku buka dia sedang koma ? Atau sedang dalam keadaan sekarat ? Ya Tuhan beri aku keberanian.

Aku mengumpulkan semua keberanianku untuk membuka pintu itu. Aku memegang gagang pintu tersebut. Menghela napas sejenak, untuk menetralkan pikiran dan perasaanku. "Bismillah," Aku mulai membuka pintu itu. Aku harus terima semua keadaan yang ada. Termasuk hal buruk yang mungkin akan terjadi.

Hening.

Rifan memandangku, dan tersenyum. Entah tersenyum tulus atau tidak. Aku memandangnya, tak percaya. Bukan tak percaya karena dia masih hidup, tapi tak percaya sosok yang biasanya mengejekku, melindungiku, menertawakanku, kini terbaring di ranjang rumah sakit.

"Sini." ucapnya menyadarkan lamunanku. Aku menghampirinya. Aku menatapnya sinis. Dia masih tersenyum. Tiba-tiba dia merentangkan tangannya.

"Kangen gue ya. Sini peluk dulu sama orang ganteng."

"Idiot lo anjir, gue khawatir banget bego. Terus dengan gatau malunya lo senyum kaya orang idiot, seolah ga ada apa-apa ?" Aku sudah tidak bisa menahan lagi air mataku. Sedih sekali melihatnya terluka. Aku bukan orang gampang menangis, tapi aku akan menjadi mudah menangis jika itu bersangkutan dengan sahabatku. Refleks aku memukul lengannya.

"Aww," Ia merintih akibat pukulanku. "Jelek lo kalo lagi mewek kaya bencong di kejar polisi," Ia terkekeh pelan. Aku tau dia mencoba mencairkan suasana yang tegang ini tapi, aku tidak ingin tertawa sekarang.

"Ga lucu bego!!" ucapku sambil menghapus air mata yang berhasil menerobos keluar membasahi pipiku.

"Udah ih jangan nangis, nanti gue ikut nangis kan ga lucu. Rifan El-nando Febriza cowok tampan dan cool masa harus nangis sesegukan sih. Nanti ga ganteng lagi dong..."

"Serah lo anjir. Bete gue!!"

"Jangan bete dong. Udah jelek tambah jelek lagi lo."

Aku terdiam.

"Dengerin gue," ucapnya, lalu menarik tanganku dan digenggamnya, "Gue ga apa-apa Felly, lo ga usah khawatir oke ? bentar lagi gue keluar dari sini kok, jadi lo ga usah nangis-nangis kaya barusan oke ?" ucapnya. Tatapannya begitu menyejukkan hati. Aku menganggukan kepalaku. Aku ingin menangis lagi sekarang.

"Ahh, gue udah berusaha nahan tapi ga bisa." ucapku sambil mengibas-ngibaskan tanganku. Air mata itu keluar lagi. Ia memelukku sebentar dan melepaskannya lagi.

"Maafin gue. Gue janji ga akan buat lo khawatir lagi."

"Promise ? "

"Promise " jawabnya. Aku tersenyum padanya. Aku menaruh tasku di atas sofa yang ada disana.

Best friend ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang