25♚

2K 87 3
                                    

Akankah kenangan ini hilang terguyur oleh derasnya hujan ?
.
.

"Hah ?" Dina mengerutkan alisnya bingung. Aku menatap Dina kemudian, tersenyum tipis ke arahnya.

Aku menggeleng pelan, senyumku masih tersimpul dibibirku, "Engga, lupain." jawabku seraya menundukkan kepalaku ke arah buku yang sekarang aku pegang erat. Buku ini menjadi korban kesedihanku hari ini. Maafkan aku.

"Fel, gue udah nemu bukunya." Ia mengacungkan buku itu seraya tersenyum sumringah, "Balik yuk!!" ucapnya semangat. Aku mengangguk sebagai jawaban.

Dua insan yang tengah berpegangan tangan itu semakin memasuki toko buku ini, berbanding terbalik dengan aku dan Dina yang semakin mendekati pintu keluar. Sepertinya Dina tidak sadar.

Gue butuh penjelasan, seengganya kapan dan dimana lo nembak dia, Fan. Bantiku seraya menatap dua orang itu.

Ponsel Dina berdering saat kami baru keluar dari toko buku. Ia merogoh dalam tasnya mencari benda pintar itu. Mendekatkannya pada telinga lalu menjawab semua perkataan dari sang penelpon.

Ia menatapku sendu saat sudah menurunkan ponselnya. Aku menaikkan kedua alisku bertanya.

"Maafin gue, Fel." ujarnya.

"Buat ?" tanyaku heran.

"Papa mau jemput kesini."

Aku tersenyum simpul, "Gue kira apa, kaget gue." jawabku lega.

"Gak apa-apa, gue bisa pulang sendiri." lanjutku meyakinkannya.

"Yakin ?"

"Lo kira gue bocah 5 taun yang ga bisa pulang sendiri hah ?" sindirku.

Ia tersenyum, "Beneran nih ?" tanyanya lagi.

Aku menghela napasku, "Iya Dina sayang." jawabku seraya tersenyum masam.

"Ih najis, pedofil lo kalo suka sama gue." Ia menggidikkan bahunya.

Aku tertawa pelan, "Ya udah si pedofil ini duluan ya." ucapku.

"Ya udah, dadah pedofilku..." ujarnya seraya melambaikan tangannya.

Setidaknya aku bisa tenang memikirkan apapun yang sekarang tengah memenuhi isi kepalaku sendirian.

Berjalan dengan headset yang menyumpal kedua telingaku. Lagu ballad terdengar begitu cocok ditengah cuaca yang mendung seperti ini. Berjalan tanpa peduli sekitar.

Berjalan dengan tatapan kosong dan pikiran yang melayang kemana-mana. Sampai aku baru sadar, langit menangis seakan mengerti perasaanku. Aku melepaskan headset dan memasukkan ponselku ke dalam tas. Mengangkat sebelah tanganku dan membiarkan telapak tanganku terbuka bebas.

Hujan. Batinku.

Rintik air semakin lama semakin deras, tapi aku tidak peduli. Membiarkan tubuhku terguyur derasnya hujan dan juga membiarkan orang-orang menatapku aneh.

Best friend ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang