Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti menjadi tahun. Tidak terasa, masa-masa SMA kami hampir berakhir. Aku rasa baru saja kemarin aku memakai baju seragam putih abu-abu, sekarang aku sudah mau UN lagi.
Seiring berjalannya waktu aku mulai menerimanya dan mengikhlaskannya. Menerima Bagus sebagai orang yang aku cintai dan mengikhlaskan Rifan bersama orang yang ia cintai. Mama benar, hanya waktu yang bisa menjawab semuanya.
Bagus semakin dekat dengan keluargaku, seperti sekarang, kamu sedang main Uno bersama. Aku, Mama dan Bagus. Jangan lupakan wajah Bagus yang sudah belepotan dengan bedak karena dia kalah daritadi.
"Uno." ucapnya sumringah, "Asik gak akan kalah lagi ini mah." lanjutnya senang.
"Bangga lo!" Aku memutar bola mataku melihatnya.
"Jelaslah, liat!!" Ia menunjuk mukanya sendiri, "Daritadi gue terus yang kalah, sampe cemong ini muka." lanjutnya.
"Biarin aja, lagi pula lo lucuan gitu." balasku.
"Tante bantuin aku dong, anaknya nakal nih tante..." Ia merengek mengadu pada Mama.
"Jijik lo, jauh-jauh dari my mom." ucapku seraya mengibaskan-ngibaskan tanganku ke arahnya.
Mama yang hanya melihat kadang tertawa kecil melihat kelakuan kami. Memang kelakuan kami seperti anak kecil. Ah tidak, kupikir kelakuan Bagus yang seperti anak kecil. Jangan bilang Bagus, nanti dia merengek lagi seperti anak kecil.
"Uno games. Yea..." Ia bersorak sambil menepuk kedua tangannya. Aku harus menerima nasib sekarang aku yang kalah, rekor sebagai sang tak terkalahkan pun akhirnya hancur sudah.
"Sini lo." ucap Bagus.
"Engga!!" sentakku seraya melotot ke arahnya, "Mama tolong anakmu, Ma..." Kini aku yang merengek seperti anak kecil.
"Ogah, mending Mama masak aja ke dapur, dadah." ucapnya seraya berdiri dan berlari kecil ke arah dapur. Aku meliriknya dengan tatapan mautku yang kupikir akan membuatnya takut, tapi ternyata tidak. Dia malah tertawa sekarang.
"Sini lo." ucapnya lagi.
"Udahan ah, mau belajar. 2 hari lagi kan UN, lo lupa." Aku berusaha untuk bangkit sebelum sebuah tangan menarikku kembali untuk duduk.
Ia merangkul bahuku, tersenyum ke arahku. Sedangkan aku sebaliknya, tidak ada senyum yang ada hanya takut luar biasa. Lihat, semua jari tangannya sudah penuh dengan bedak. Oh God, Help me, please.
Ia mengusap wajahku dengan tangan yang penuh dengan bedak itu. Aku menutup mataku rapat, ingin sekali berteriak.
"Cantik ih." ucapnya
Sial.
---
Seminggu ke depan, tidak ada ponsel, tidak ada bermain dan tidak ada pacaran. Belajar, belajar dan belajar. Bagaimana pun ini untuk masa depanku nanti. Tidak ada seorang pun yang mau menyesal di kemudian hari. Karena menyesal selalu diakhir, kalau diawal namanya pendaftaran.
Untuk sejenak semua perasaanku, semua keluh kesahku aku berhentikan dulu. Masa depan lebih penting, aku percaya jika aku sakit sekarang, suatu saat nanti aku akan bahagia sebahagia-bahagianya. Karena dunia ini berputar, mungkin sekarang aku sedang ada di bawah, tidak memungkiri kalo tahun depan atau beberapa tahun ke depan aku akan ada diatas. Tidak ada yang tahu.
Teng...Teng...Teng...
Selamat siang, kepada seluruh siswa peserta UN, diharapkan berkumpul sebelum pulang. Karena ada beberapa pengumuman yang akan disampaikan. Terima kasih atas perhatiannya, selamat siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best friend ?
Teen FictionBenar apa kata kebanyakan orang diluar sana. Tidak ada persahabatan murni yang terjalin antara pria dan wanita. Perasaan lebih akan muncul saat keduanya sudah nyaman satu sama lain. Kini hal itu terjawab sudah. Aku merasakannya. Ini tidak mudah dan...