"Sorry, I can't." ujarku pelan.
Ia mendengus kasar dengan tangan yang jatuh ke pinggir badannya lalu menunduk lelah. Ia berbalik menghadap lurus ke arah hamparan atap rumah yang begitu indahnya.
Angin yang berhembus menambah kesan dramatis pada saat ini. Aku tetap menatap ke arahnya dengan sendu. Ia mengusap wajahnya frustasi.
"Sorry." gumamku, aku agak menundukkan kepalaku dan berhenti menatapnya.
"It's okay, gue ngerti ga akan semudah itu percaya sama gue lagi," Ia menganggukkan kepalanya kemudian, "Gue ngerti." lanjutnya.
"Dan kayanya memang gue ngelakuin kesalahan besar sampe lo ga nerima gue lagi." tuturnya, aku mendengus kasar kala mendengarnya.
"Bukan gitu..." ucapku jengah mendengarnya, ada segelintir nada keputusasaan saat ia mengucapkannya tadi, "Jujur aja, gue juga masih sayang sama lo, jauh didalem perasaan ini, gue juga pengen balik lagi sama lo. Tapi gue ga bisa." tuturku.
"Kenapa ga bisa ?" tanyanya dengan nada sama paraunya dengan nadaku ketika bicara.
"Karena gue juga mau ngerasain kebebasan yang ga gue dapet selama ini, gue pengen bahagia walaupun ga ada orang yang selalu disebut 'pacar' dalam hidup gue." jelasku, aku menarik napas pelan saat ingin melanjutkan omonganku.
"Bohong kalo gue bisa ngelepas lo, bohong kalo gue ga sayang sama lo. Kalo lo tanya gue masih ada rasa sama lo atau engga, gue bakal jawab masih. Karena emang kenyataannya gitu. Gue benci harus bohong sama diri gue sendiri terus, gue cape.
Gue pengen sekali ini aja sebelum gue pisah sama yang lain, gue ungkapin semuanya. Semua tentang perasaan yang gue pendem sendiri selama ini." ujarku panjang, ia menatapku dengan tatapan bingung tidak mengerti.
"Pisah ?" Ia memiringkan kepalanya, aku mengangguk pelan, "Iya, pisah." ujarku mengulang perkataannya.
"Gue ga akan lanjut di Indonesia." ucapku pelan, ia membelalakkan matanya kaget.
"Kenapa lo ga bilang ?" tanyanya.
"Karena awalnya juga gue ga percaya Papa bakal bawa gue ke Korsel, taunya bener. Papa ngasih tau gue kalo itu jadi. Gue berangkat minggu depan, sehari setelah prom night." jawabku.
Ia kembali terdiam seolah sedang mencerna setiap kalimat yang telah aku lontarkan barusan. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, mungkin itu yang bisa menggambarkan lelaki ini sekarang. Jika aku jadi dia, mungkin aku setelah ini akan berjalan sendiri tidak menentu arah. Kemana saja, untuk membuang penat yang ku rasakan.
Kami sama-sama diam. Aku diam karena memang sepertinya tidak perlu ada yang aku ucapkan lagi, karena kurasa semuanya sudah jelas. Ia berdiri dengan gusar, seperti ada sesuatu yang belum sempat ia sampaikan, mungkin takut mengucapkannya. Entahlah, itu hanya dugaanku.
"Fel," ujarnya memecah keheningan, "Can I hug you ? " Ia menoleh menatapku, begitu juga aku. Aku menoleh ke arahnya, menatapnya, "For the last time." sambungnya.
Seketika napasku tersendat. Aku berusaha menahan sesak yang terus menjalar menyelimuti rasa yang tidak karuan ini. Naluriku berkata aku harus menolak, tetapi tubuhku berbanding terbalik. Buktinya, tanpa sadar aku mengangguk pelan dan kini ia merengkuh tubuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best friend ?
Teen FictionBenar apa kata kebanyakan orang diluar sana. Tidak ada persahabatan murni yang terjalin antara pria dan wanita. Perasaan lebih akan muncul saat keduanya sudah nyaman satu sama lain. Kini hal itu terjawab sudah. Aku merasakannya. Ini tidak mudah dan...