"Ga usah, gue disini kok."
Ia kaget melihatku disini, tak lama Rifan pun keluar dari tempat itu. Kali ini Jenny pun ikut tersentak, hingga ia mundur selangkah. Matanya membola sempurna kala ia melihat Rifan.
Mataku mulai memanas, "Gue salah apa sama lo, hm ? emang gue ga pinter buat bilang gue sayang sama lo, gue pikir lo ngerti. Gue pikir semuanya lo lakuin ikhlas buat gue. Gue pikir lo beneran sayang sama gue, ternyata gue salah selama ini.
Saat gue udah jatuh ke elo, ternyata gue harus nelen pil pahit yang tenyata ini cuma rekayasa. I trust you, ternyata lo bohongin gue. I need you, ternyata lo cuma mainin gue. I love you, ternyata gue cuma sebagai boneka disini." ucapku sambil menahan air mata yang akan keluar.
Bagus diam tak menjawab, ia masih kaget. Dari ekspresinya ia masih terlihat sekali kalau ia masih tidak percaya akan hal yang selama ini ia simpan aman, terbongkar semua.
"Gue ga nyangka sama sekali lo kaya gini." Suaraku mulai bergetar, aku menghela napasku sebentar, "Gue kecewa banget sama lo, gue mau kita udahan aja." Kini air mataku sudah mulai turun membasahi pipiku. Aku menghela napas lagi dan,-
"Gue benci sama lo." jelasku. Aku segera meninggalkan tempat itu tergesa-gesa sambil menahan isakan yang semakin menjadi. Tujuanku hanya satu,
Taman belakang sekolah.
Aku mendudukkan diri dan langsung menangkup wajahku, terisak sejadi-jadinya. Melampiaskan semua yang sudah aku rasakan.
Tak adil. Ini tidak adil. Aku sudah jatuh dalam sekali padanya, tapi sekarang aku harus menerima kenyataan kalau ini hanya rekayasa belaka. Satu tahun aku berperang dengan segala perasaan yang membuatku bingung sendiri. Satu tahun aku berjuang untuknya, untuk menghargai perasaannya, untuk mengikhlaskan Rifan. Semuanya sudah aku lakukan demi Bagus, hingga resiko yang paling buruk pun telah aku lakukan.
Tapi kenyataan tidak mendukung semua kerja keras dan rasa yang aku korbankan selama ini. Aku lelah. Semua pertahanan yang aku rangkai sedemikian rupa telah hancur pada hari ini. Butuh satu tahun aku untuk mempercayai dan mencintainya tapi, hanya butuh satu detik ia menghancurkan semuanya.
Detik ini, saat hembusan angin menerpa rambutku. Aku menangis.
---
Rifan POV
Aku menggenggam lengan Jenny erat, melangkah dengan cepat sembari menahan emosi.
"Sakit, Fan." Ia meringis sakit meminta untuk dikasihani. Aku berhenti lalu menghempaskan tangannya kasar. Lalu, berbalik untuk memandangnya.
Ia mengusap lengannya yang aku genggam terlalu erat tadi, "Gue ga nyangka ternyata dalanganya elo." ucapku tak percaya.
Ia menundukkan kepalanya, "Maksud lo apa ?" tanyaku dengan nada yang meninggi.
"Karena gue ga suka lo deket sama Felly." Ia berteriak dengan muka memerah menahan marah.
"Oh, gue ngerti sekarang. Lo suka gue karena nafsu lo doang. Lo ternyata sama aja kaya cewe-cewe yang lain, gue ga habis pikir ya." ucapku tak kalah menusuk.
"Gue ga suka Felly deket-deket sama lo." Ia kembali berteriak, sekarang tangannya mulai menunjuk-nunjuk wajahku.
"Denger ya," ujarku seraya berkacak pinggang dan maju selangkah mendekatinya lalu memajukan wajahku hingga hanya berjarak tujuh senti dari wajahnya yang kini mendongak menatapku, "Bukan Felly yang ngedeketin gue, tapi gue yang deketin dia." ujarku pelan namun penuh penekanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best friend ?
Teen FictionBenar apa kata kebanyakan orang diluar sana. Tidak ada persahabatan murni yang terjalin antara pria dan wanita. Perasaan lebih akan muncul saat keduanya sudah nyaman satu sama lain. Kini hal itu terjawab sudah. Aku merasakannya. Ini tidak mudah dan...