36♚

5K 98 25
                                    

"Fel," teriak seseorang dari kejauhan. Ia melambaikan tangannya pada Felly. Ia membalasnya pelan, menatapnya dan memberikan senyum terindahnya.

Pria itu, menggunakan jas dokter yang serupa dengan yang Felly gunakan. Perawakan yang tidak jauh berbeda denganku. Tatanan rambut sama, gaya sama, hanya saja ia terlihat seperti orang yang lebih pintar. Tentu saja, dia orang pintar makanya ia bisa menjadi dokter di Rumah Sakit seperti ini.

Kayanya gak asing.

Ia mendekat ke arah kami dengan senyumnya yang tak kunjung luntur itu. Ia membungkukkan badannya sopan, lalu-

"Eh, bukannya kau yang tadi ?" ucapku tentu saja memakai bahasa setempat.

"Ah, aku ingat. Kau yang tadi tidak sengaja aku tabrak bukan ? Maafkan aku." ucapnya dan kembali membungkukkan badannya.

"Dia Dokter Kim, biasanya pasien dan staff disana memanggilnya begitu." ujar Felly memperkenalkannya.

"Hai, aku Kim Hyo Jin. Senang bertemu denganmu dan maaf sudah menabrakmu tadi." ucap sembari tertawa renyah, "Tidak apa, aku Rifan." balasku sopan.

Ia membelalakkan matanya setelah mendengar namaku tadi, "Jadi kamu Rifan ?" ucapnya yang sepertinya terkejut, aku menangguk pelan, "Iya, ada apa ?" tanyaku selidik.

Ia menggelengkan kepalanya lalu tersenyum, "Tidak, hanya saja dia sering menyebut nama itu saat bercerita tentang negaranya." Ia menunjuk Felly yang daritadi memperhatikan kami berbincang, aku melirik ke arahnya yang sekarang tengah tertunduk itu.

"Aku harus kembali, maaf." ucapnya padaku, ia membalikkan tubuhnya menatap Felly.

"Aku pergi dulu ya, telpon aku nanti." ucapnya lalu mengelus pelan surai Felly. Ia pergi dengan sedikit berlari ke arah mobil hitam miliknya. Aku dan Felly menatap kepergiannya.

"Dia." ucap Felly pelan, aku menoleh ke arahnya. Menatapnya dengan penuh penuntutan untuk melanjutkan ucapannya.

"Dia orang yang beruntung itu, Fan." lanjutnya.

"Dokter Kim ?" tanyaku memastikan, ia mengangguk pelan.

Aku mengusap wajahku pelan. Antara geram dan sedih. Aku tidak bisa menafsirkan rasa ini. Sungguh, ini sangat memusingkan.

"Dia dateng ke hidup gue 2 tahun lalu dan 3 bulan yang lalu, kita tunangan." jawabnya, aku kembali terdiam mendengar pernyataan yang sangat memilukan ini. Aku tidak ingin mendengar kenyataan pahit ini. Tapi, mau bagaimana lagi ? Ini juga salahku yang waktu itu tidak kunjung menyatakan perasaanku karena ketakutan itu. Karena ketakutan aku kehilangan dia.

"Kalo lo tanya kenapa gue nerima dia, karena dia sama kaya lo." Aku menoleh ke arahnya, ia tersenyum simpul tapi tatapannya tidak mengarah ke arahku.

"Dia mirip sama lo. Rifan versi Korea. Bedanya dia lebih cerewet dan kelampau terlalu jujur, gue nyaman sama dia yang selalu blak-blakan tentang hubungan gue sama dia. Ga ada rahasia. Gue suka dia yang apa adanya, yang selalu ngejadiin gue itu seolah barang yang gampang rusak, dijaga banget. Gue salut sama dia yang ngejaga banget perasaan gue.

Sama kaya lo. Bedanya lo nunjukkin dengan bercanda, lo punya cara unik dan beda buat nunjukkinnya. Karena keunikan dan keanehan lo gue nyaman ada dideket lo walau cuma jadi sahabat. Gue kaya gini bukan berarti gue kalah sama perasaan gue sendiri. Bisa aja gue kesana, nyusul Kim dan balikin cincin ini ke dia." ujarnya, ia menggelengkan kepalanya sebelum melanjutkan ucapannya.

"Tapi gue ga bisa. Gue ga bisa cuma berkutat sama cowo yang sama, gue ga bisa jatuh ke dalam lubang yang sama. Gue juga pengen hidup kaya wanita lain. Menikah dan membangun sebuah keluarga dengan kebahagiaan. Emang dulu kebahagiaan itu ada pada lo. Tapi sekarang bukan.

Best friend ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang