Rifan POV
Cahaya matahari menyilaukan pandanganku. Aku membuka mata dengan perlahan, mengerjap-ngerjapkan mataku sebentar untuk mengumpulkan seluruh kesadaran. Aku meregangkan seluruh badanku, lalu bangun dan duduk diatas ranjang berwarna putih gading ini.
Jam berapa sekarang ?
09.27
Aku turun ke lantai bawah untuk sarapan. Membuka kulkas dan mengambil air dingin dan menuangkannya di dalam gelas. Mengambil selembar roti dan langsung naik kembali ke kamarku.
Aku tahu dia belum memaafkanku. Aku tahu dia, dia butuh penjelasan. Mungkin penjelasanku kemarin malam belum cukup untuknya. Jadi, aku akan menghampirinya hari ini untuk menjelaskan semuanya lebih detail dan mungkin saja hari ini juga aku akan menjadikannya milikku.
Dengan berbalut kemeja hitam yang aku gulung sebatas siku dan celana jeans yang senada dengan bajuku, aku turun dan langsung menyambar kunci mobil.
"Keluar dulu bentar." pamitku pada orang rumah dengan sedikit berteriak.
Semoga ia akan menerima kenyataan selama ini. Kenyataan yang mengatakan bahwa aku, sahabatnya mencintai dan ingin memilikinya lebih dari sekedar sahabat. Aku harap dia paham dan aku harap dia mengerti dan mempunyai perasaan yang sama. Doakan aku.
Aku memarkirkan mobilku tepat di depan gerbang rumahnya. Aku bisa melihat beberapa kardus yang tergeletak di halaman depan rumahnya. Aku masuk dan menatap seluruh kardus itu dengan bingung.
Ada apa ini ? Batinku.
"Cari siapa, Mas ?" ujar seseorang.
Aku menunjuk salah satu kardus yang ada disana, "Ini punya siapa, Pak ?" tanyaku, lalu aku menatapnya.
"Punya saya, Mas. Ada perlu apa ya ?" tanyanya balik. Aku mengerutkan alisku, "Emang yang punya rumah ini kemana ?" tanyaku lagi, kini aku menatapnya dengan serius.
"Oh, Pak Andi ? Pak Andi kan pindah ke Korea bareng sama keluarganya, terus rumah ini dijual." jawabnya santai. Aku membelalakkan mataku kala mendengar jawabannya.
Tunggu, pindah ?
Aku terlambat, ia sudah pergi. Hari yang seharusnya menjadi bukti atas kebenaran yang akan ku ungkapkan sekarang, hancur sudah. Aku yang terlalu takut untuk mengungkapkan, kini kehilangan dia. Sekelebat memori tadi malam kala aku mengantarnya pulang kembali teringat seperti kaset yang diputar ulang.
"Makasih, Fan."
Itu adalah kata-kata terakhirnya sebelum kami berpisah. Aku tahu, ini hanya masalah jarak yang membentang seperti tali yang memisahkan kami. Tapi, seharusnya dia memberi tahu dulu dia akan pergi, bukan seperti ini.
Apakah ini ada sangkut pautnya dengan masalah semalam ?
Apakah dia sebegitu hancurnya sampai tidak memberi tahuku ?
Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan. Tapi, aku harus menanyakannya kepada siapa ? Orang yang kuharapkan sudah pergi. Aku terlambat, bukan bahkan sangat terlambat.
Aku menganggukkan kepalaku paham, "Kalo gitu saya masuk dulu ya, Mas. Saya harus beres-beres lagi." ucapnya sopan, aku kembali menganggukkan kepalaku. Aku melihat punggung orang itu semakin lenyap, akhirnya ia masuk ke dalam rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best friend ?
Teen FictionBenar apa kata kebanyakan orang diluar sana. Tidak ada persahabatan murni yang terjalin antara pria dan wanita. Perasaan lebih akan muncul saat keduanya sudah nyaman satu sama lain. Kini hal itu terjawab sudah. Aku merasakannya. Ini tidak mudah dan...