"Jangan bilang lo udah sadar semuanya dari awal ?" tanyaku.
Aku diam menunggu jawaban darinya. Menatapnya dengan tatapan takut dan tidak percaya.
Jangan jawab iya, please. Batinku.
Ia mengangguk, "Iya gue udah tau semuanya." jawabnya mantap.
Napasku tecekat, aku semakin menatapnya percaya tidak percaya. Tanpa aba-aba, saat angin menerpa wajahku dan menghempaskan rambutku, air mata ini jatuh. Tanganku yang tadinya memegang jasnya, aku kepal dipangkuanku.
Jika memang dia sudah tahu dari awal, kenapa harus disembunyikan ? Aku menahan sakit ini sendirian satu tahun, menahan kebohongan manis ini dalam keheningan. Tapi dia yang sudah tahu dari awal, bersikap biasa seolah aku bahagia. Dia membiarkan sahabatnya sendiri terluka sementara dia tersenyum dengan orang lain diluar sana.
Ia berusaha menggenggam tanganku, tapi aku menepisnya. Terdengar ia mendengus kasar lalu mengusap wajahnya gusar, "Kenapa..." Aku mendongak untuk menatap netra indahnya, "Kenapa baru sekarang lo ngomong gini ?" tanyaku diiringi isakan.
"Karena gue tau lo ga akan percaya." ucapnya.
"Satu tahun ini kemana aja lo ga ngasih tau gue ? Lo ga mikir seberapa sakit gue ngikutin sandiwara ini ?" tanyaku dengan parau. Ia menatapku sendu, ada sebercak rasa bersalah pada tatapannya. Tatapan yang belum pernah aku lihat darinya.
"Lo lupa gue siapa ?" tanyaku lagi, seraya menunjuk diriku sendiri, "Gue sahabat lo. Lo sendirikan yang ngomong gue sahabat lo ? Tapi sekarang, lo bersikap seolah gue itu ga ada artinya buat lo. Kalo gue fakir perasaan, fakir kasih sayang, gue bakal minta balesan dari lo. Tapi liat gue sekarang ? gue ga minta apa-apa dari lo, Fan. Gue cuma pengen lo ada buat gue layaknya sahabat.
Gue bingung, marah, kecewa, benci sama lo. Gue ga habis pikir lo ngebiarin gue dalem hubungan ini selama satu tahun, seengganya lo bercanda kaya biasa gitu sambil bilang, 'Fel, Bagus sebenernya ga sayang loh sama kamu' atau 'Fel, lo dibohongin', gue gatau harus ngomong apa lagi sekarang." Aku menggeleng pelan seraya menutup mulutku meminimalisir isakkan yang tidak kunjung berhenti.
"Gue udah pernah bilang sama lo, waktu di cafe. Lo lupa ?" tanya dengan nada geram.
Aku buru-buru menghapus air mataku kasar dan menatapnya, "Engga, gue inget. Dan lo lupa kenapa gue ga percaya sama lo ? Karena lo ga punya alesan kuat yang bisa ngebuat gue percaya sama lo dan dari situ, lo ga pernah ngebahas lagi soal ini. Gimana gue mau percaya ?" tanyaku dengan nada kesal.
Jas yang Rifan pakaikan sudah jatuh ke atas bangku taman yang kami duduki. Tidak ada niatan aku mengenakannya kembali, suasana dingin disini terabaikan begitu saja.
Mudah untuk memaafkan, tapi susah untuk melupakan sakit yang hingga kini masih bersarang pada diriku.
Apakah orang ini mempunyai niat untuk menyembuhkanku? Aku harap iya.
---
Rifan POV
Felly benar. Aku salah, harusnya aku tidak membiarkan luka itu terus menggoresnya semakin dalam. Satu tahun, bukan waktu yang singkat untuk membuat beratus, bahkan beribu kenangan manis untuk seseorang. Ya, aku salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best friend ?
Teen FictionBenar apa kata kebanyakan orang diluar sana. Tidak ada persahabatan murni yang terjalin antara pria dan wanita. Perasaan lebih akan muncul saat keduanya sudah nyaman satu sama lain. Kini hal itu terjawab sudah. Aku merasakannya. Ini tidak mudah dan...