Aku menatap Felly yang masih menatapku. Ada secelah binar ketakutan dan kesedihan disana. Aku tidak mengerti kenapa dia menatapku dengan tatapan seperti itu. Sungguh, sepertinya aku melakukan kesalahan pertama setelah 3 tahun aku tidak bertemu dengannya. Berniat untuk melihat senyum indahnya, tapi malah kesedihan dan ketakutan yang aku dapat sekarang.
Aku menatapnya kaget kala aku melihat air matanya jatuh, "Kenapa ?" tanyaku lirih, tapi bukannya menjawab, ia malah terdiam dengan menggigit bibir bawahnya. Air mata itu semakin deras. Sungguh aku tidak berniat melakukan kesalahan, tapi untuk yang kali ini aku tidak tahu dimana kesalahanku.
Napasnya semakin lama semakin tidak teratur, tentu saja aku yang melihatnya panik. Dengan segala pikiran yang berkecamuk, aku memberanikan diri untuk bertanya lagi, tapi baru aku mau bertanya, ia sudah bertanya lebih dahulu.
"Sekarang mana kotaknya ?" tanyanya kalut, tanpa banyak bicara, aku memberikan kotak itu padanya. Ia menerimanya dengan tangan sedikit bergetar. Ia menaruh kotak itu dipangkuannya, menatapnya sendu dan sedikit memainkan jemarinya disana.
Ia mendongak masih dengan tatapan yang sama, "Lo nemu dimana ?" tanyanya lirih, "Waktu lo pindah, gue kesana dan orang itu ngasih ini ke gue. Katanya dia nemu kotak gitu, akhirnya gue simpen." jawabku jujur.
Ia mendengus kasar, "Lo buka kotak ini ?" tuturnya, aku mengangguk sebagai jawaban. Ia menggeram lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia terisak disana.
Aku merogoh saku dan mengambil sapu tangan. Aku menjauhkan tangan yang menutupi wajahnya dan menghapus jejak air mata disana. Ia menghentikan gerak tanganku di wajahnya, "Gue bisa sendiri." ucapnya sambil mengambil sapu tangan itu dari genggamanku. Dengan telaten ia membersihkan wajahnya menggunakan tangan kanannya dan tangan yang satunya menggenggam erat kotak tersebut.
Ia mendongak setelah menghapus air matanya, "Lo udah ngertikan semuanya ? Lo udah ngertikan kenapa gue jadian sama Bagus ? Kenapa gue ga jujur sama lo selama ini ?" ujarnya lirih, aku diam tak menjawab pertanyaannya. Ia terisak kembali, "Me too." ucapku, ia kembali menghapus air matanya dan menatap ke arahku dan kini aku menatap ke arahnya, menatap manik kembar indah itu.
"Gue juga ga berani jujur sama lo, ya karena itu. Because I'm your bestfriend. Gue takut lo ngejauh atau semacamnya, gue lebih nyaman kaya gitu. Buat apa gue nyatain perasaan gue kalo berujung lo ninggalin gue. Tapi gue salah, seharusnya gue jujur dari waktu pertama gue suka sama lo. Ga seharusnya gue takut sama perasaan gue sendiri.
Gue takut kalo gue jujur sama lo. Gue sempet kecewa waktu lo nerima Bagus. Di hari waktu gue ke rumah lo, gue mau ngungkapin semuanya sampai gue tau kalo lo pindah. Gue ngerasa gue kehilangan semuanya, Fel. Emang lo pasti mikir lebay, alay atau apalah, tapi yang emang gitu yang gue rasain. Gue nyesel banget ga bisa jujur sama lo. And it's time to say it," Aku menggenggam tangannya, "I love you." ucapku. Ia menatapku tak percaya, ia mengigit bibir bawahnya menahan isakan, karena ia menangis kembali sekarang.
Ia menghela napas pelan, mengatur napasnya sebelum berbicara, "I love you too, tapi itu dulu." Serasa dihantam oleh batu besar, aku menatapnya kaget. Jantungku berdetak tidak karuan, ia menarik tangannya dari genggamanku.
Ia kembali menarik napas untuk mengatur deru napasnya yang tidak teratur itu, "Seperti apa yang lo baca dari kotak ini," tunjuknya, "Gue juga punya perasaan sama lo," serunya.
"Gue juga ga berani buat jujur kaya Celine sama Dina. Gue cuma cewe biasa yang nyembunyiin perasaannya demi sahabat-sahabatnya. Gue tau lo sakit, tapi gue lebih sakit. Gue tau lo kecewa sama Jenny waktu tau dia dalangnya, tapi gue lebih kecewa. Karena apa ? Karena gue waktu itu udah berusaha sekuat yang gue bisa buat ngelepas lo bahagia sama yang lain karena gue tau ada seseorang juga yang bisa bahagiain gue. Ya, gue ngelepas lo sebagai orang yang gue sayang, yang gue prioritasin, tapi kalo soal sahabat," Ia menggeleng pelan, "Gue ga akan pernah ngelepas lo, sampai lo jujur waktu malem itu." lanjutnya dengan lirih.
"Lo sakit hati, gue lebih, Fan. Gue ga punya tempat berbagi waktu itu, Celine sama Dina ngejadiin gue tumpuan mereka buat ngedeketin lo. Sementara gue ? Gue yang udah lebih nyaman duluan sama lo jauh sebelum mereka, cuma bisa senyum aja tanpa mereka tau semuanya.
Gue juga udah pengen jujur dari waktu itu sama lo, cuma gue takut. Gue cewe, gue takut entar lo nganggep gue murahan atau hal semacamnya. Dan karena ketakutan gue sendiri akhirnya lo jadi milik orang dan gue nerima orang lain." ucapnya getir. Aku hanya diam mendengarkan semua penjelasan yang aku yakin telah disimpannya selama ini. Aku memberikannya waktu untuk bicara.
Disini, lebih tepatnya di bangku taman di tengah riuk pikuk kota Seoul, aku mendengarkan penuturan yang begitu menyakitkan dan membuatku menyesal.
Ia menarik napas untuk yang kesekian kalinya, "Malam itu, waktu prom night, gue sebenernya udah mau pamitan sama lo. Tapi, lo..." Ia menghentikan ucapannya, kembali mengigit bibir bawahnya dan kembali terisak kecil.
Aku membuatnya rapuh lagi untuk yang kedua kalinya. Harusnya aku sadar kalau dia mencintaiku juga. Seharusnya aku mengerti, aku terlalu takut akan perasaanku sendiri hingga karena ketakutan itulah aku membuatnya hancur.
Ia mengelap air matanya cepat dan kasar, lalu mendongakkan kepalanya menatap mataku, "Waktu dimana semuanya kebongkar, gue kehilangan satu orang yang gue sayang. Sialnya, kenapa waktu itu gue bisa sayang sama dia dan ga ngedengerin kata-kata lo. Ya, gue salah. Semenjak waktu itu gue kembali berharap sama lo.
Gue berharap lo bakal selalu ada buat gue, selalu bikin gue senyum, selalu buat gue ketawa dan ngebuat moment indah dihari-hari terakhir gue disana. Tapi, itu cuma harapan gue yang ga akan pernah terkabul." ujarnya lirih.
Aku menggeleng pelan, "Engga, gue bisa ngabulin semua permintaan lo itu. Gue bisa ngebuat lo senyum, ketawa dan ngebuat moment indah bareng-bareng." Aku kembali menggenggam tangan kanannya. Namun, ia menggeleng pelan atas semua penuturanku.
"Kalo lo dateng 3 bulan lalu, gue ga akan nolak lo. Kalo sekarang gue ga bisa." ucapnya getir.
Aku berdecak tak suka, "Ya tapi kenapa ? Kenapa sekarang ga bisa ?" tanyaku agak merendah.
Ia melihatkan sesuatu yang aku tidak sadar daritadi. Ada cicin perak yang bertengger indah di jari manis tangan kirinya. Cincin itu, benda kecil yang mempunyai satu makna yang siapa pun akan langsung mengerti tanpa harus dijelaskan. Dia sudah terikat. Terikat bersama orang lain. Memang itu hanya cincin perak yang aku pun bisa membelinya, tapi makna dari cincin itu bisa membuat jutaan uang tidak lagi bermakna kala kau melihat orang yang kau cintai memakainya.
Sekali lagi, seperti dihantam oleh batu besar, aku merasakan sakit yang teramat dalam. Terserah kalian ingin berkata ini terlalu berlebihan untuk lelaki sepertiku, tapi itulah kenyataannya. Lelaki pun bisa merasakan sakit hati, bisa merasakan sesak yang teramat sangat, hanya saja kami menunjukkannya dengan cara yang berbeda.
Aku menatap cincin itu tanpa kedip. Ia menurukan lengannya dan kembali menggenggam kotak itu, menghela napasnya untuk yang kesekian kalinya.
"Tell me, siapa orang beruntung itu ?"
TBC...
Ayo vomment😘😘😘
Dikit lagi yeayyyyy....
makasih para readers💕💕
.
.
.
.
Jangan lupa senyum dan bahagia:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Best friend ?
Teen FictionBenar apa kata kebanyakan orang diluar sana. Tidak ada persahabatan murni yang terjalin antara pria dan wanita. Perasaan lebih akan muncul saat keduanya sudah nyaman satu sama lain. Kini hal itu terjawab sudah. Aku merasakannya. Ini tidak mudah dan...