33♚

1.8K 88 2
                                    

Felly POV

Aku mengacak-ngacak rambutku frustasi. Kenapa juga aku bisa sampai lupa dengan kotak itu, padahal aku sudah menaruhnya di atas meja dekat ruang TV tadi. Disitu semuanya aku tulis, semuanya ada disitu. Kenangan bersama Celine dan Dina. Terlebih lagi, surat-surat itu. Aku kembali mendengus kesal akan hal tersebut.

"Udah sih, kan bisa beli kotak baru. Entar Mama beli deh yang lebih bagus, berapa sih..." jawabnya dengan santai sambil pandangan terus terarah kepada majalah yang ada ditangannya.

Aku kembali mendengus kasar, "Bukan masalah harganya, isinya Ma." jawabku kelewat marah dan ingin menangis. "Ya udah, ikhlasin aja." jawabnya lagi.

What ?

Entah untuk yang keberapa kalinya aku mendengus kasar dan membanting punggungku sendiri ke kursi yang aku duduki. Karena tidak mungkinkan aku membanting punggung Mama, yang ada aku akan ditendang keluar pesawat. Aku melipat kedua tanganku di dada dan memandang keluar jendela seraya menekuk wajahku.

Mama menoleh ke arahku, lalu menghela napas sebentar, lalu ia menyentuh pundakku, "Denger Mama." tegasnya.

"Iya ini juga didenger." jawabku kesal.

"Mama tanya, isi kotak itu apa ?" tanyanya lembut seraya mulai membelai suraiku. Aku mulai menoleh ke arahnya dengan wajah memelas, "Surat sama foto." jawabku lirih.

Ia mengangkat kedua alisnya, "Foto siapa ?" tanyanya lagi, "Foto aku, Celine sama Dina." jawabku sambil membalikkan tubuhku menghadapnya.

Ia tersenyum lembut, "Kan kalo foto masih bisa kamu print, foto kalian kan banyak di hp sama di laptop kamu." jawabnya dengan tenang, "Tapi suratnya ?" tanyaku.

"Emang surat buat siapa ?"

"Bukan buat siapa-siapa sih, tapi ya aku tulis buat seseorang yang ga akan pernah aku kasih ke orangnya." jawabku lirih.

Ia menarik napas sebelum kembali berbicara, "Siapa orangnya ?" tanyanya kembali.

"Mama pasti tau." jawabku yang sekarang menunduk tidak berani menatap mata indah yang kini menatapku.

"Gini, soal kotak dan soal foto bisa kamu print lagi sayang. Kalo soal surat, Mama juga bingung, tapi ambil sisi positifnya. Kalo kamu nyimpen kotak itu terus, apa kamu mau terus terlarut dalam kenangan itu ? Ya maksudnya, apa kamu mau terus berkutat akan satu pria yang entah suka sama kamu atau engga, entah dia emang udah sadar atau emang ga sadar, atau bahkan dia emang sadar tapi ga peduli.

Boleh bernostalgia, tapi kalau kamu terus larut akan kenangan itu, apa kamu mau terus jatuh ke lubang yang sama ? Jatuh karena orang yang sama dan bahkan sakit dengan orang yang sama ?" tanyanya, aku menggeleng pelan masih dengan menundukkan kepalaku. Beralih dari suraiku, kini Mama menggenggam tangaku.

"Lagipula, kita udah jauh dari dia. Bukan lagi beda kota, tapi beda negara. Apa kamu masih mau perjuangin dia ? Emang kamu mau ngehabisin sisa hidup kamu sendiri atau lebih tepatnya ngehabisin sisa hidup kamu nungguin yang ga pasti ?" Aku kembali menggeleng pelan.

"Engga, kan ? Kamu juga harus menikah, harus membina rumah tangga, ga mungkin sendiri terus." ucapnya, aku hanya terdiam mendengarkan. Semua yang Mama ucapkan benar, aku tidak bisa hanya mencintai satu orang dalam hidupku. Aku harus bisa membuka hatiku untuk yang lain, karena aku juga harus melanjutkan hidupku seperti wanita lain.

Aku mendongak menatap Mama, "Ma, aku salah ya ga ngasih tau Rifan aku pindah ke Korea ?" tanyaku lirih.

"Jelas sayang, kamu salah. Ga seharusnya kamu kaya gitu, mau gimana pun dia sahabat kamu, harusnya kamu kasih tau juga dia." tegasnya.

Best friend ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang