Taman belakang sekolah. Tempat yang punya banyak kenangan bersamaku. Cuaca cukup dingin ditambah dengan angin yang berhembus lebih kencang tak seperti biasanya, membuat rambut yang dibiarkan ku urai terhempas ke belakang sesuai dengan angin yang berhembus. Aku menangkup wajahku dengan kedua tanganku. Menggigit bibir bawahku meredam isakan yang kian menjadi. Membiarkan lelehan cairan bening keluar dari mataku.
Rifan. Aku butuh dia, aku butuh tempat bersandar. Aku butuh sosok penyabar dan penyayang seperti dia sekarang. Katakan saja aku egois karena meninggalkan Celine dan Dina. Aku tidak peduli jika kalian berpikir seperti itu, ya aku egois karena aku lebih mementingkan perasaanku saja sekarang. Tapi aku mohon sekali ini saja, biarkan mereka yang mengalah untukku. Izinkan sekali saja aku memikirkan perasaanku sendiri. Jujur, sekarang aku tidak bisa berpikir jernih seperti biasanya. Bisa dibilang, aku kacau sekarang.
Aku terisak semakin keras. Melepas gigitan pada bibir bawahku, aku sadar tidak ada orang selain aku disini. Yang berarti aku bebas. Ingin aku berteriak, tidak akan ada yang peduli. Aku yakin wajahku memerah sekarang, menahan tangis dan amarah. Jika itu bukan di tempat umum, akan ku hampiri dia dan akan ku tanyakan siapa perempuan itu. Akan ku pinta dia untuk menjelaskannya, tapi itu tidak akan terjadi. Akan membuat keramaian disana dan orang-orang akan menatap kami dengan tatapan penuh kebencian. Aku benci tatapan seperti itu.
"Lo harusnya jujur sama gue," gumamku sambil terisak. "Lo tinggal bilang ada janji sama cewe," ucapku, lagi. "Gue ga akan ngelarang lo." aku terisak semakin kencang. Suara derap langkah kaki seseorang mulai terdengar. Ada orang datang, dengan cepat aku menghapus air mata yang meleleh membasahi pipiku kasar. Menunduk dengan mata merah sambil menggigit bibir bawahku untuk menahan isakan yang bisa terdengar kapan saja. Semakin terdengar langkah kaki orang itu, semakin keras aku menggigit bibir bawahku. Ia mendudukkan dirinya disebelahku.
Hening. Hanya suara hembusan angin yang terdengar. Sampai Rifan buka suara memecahkan keheningan.
"Gue tau lo sedih," ucapnya. "Kalo mau nangis, nangis aja. Ga usah lo tahan, bibir lo bisa berdarah kalo lo gigit gitu."
Tepat disaat ia menyelesaikan ucapannya, aku menangis sejadi-jadinya. Menutup wajahku dengan kedua tanganku, lagi. Ia mengusap rambutku lembut dan terkadang menepuknya pelan. Memberi kenyaman untukku. Ia menurukan tangannya dan merangkul bahuku dan menepuknya pelan. Suasana kembali hening, hanya isakanku dan suara angin yang terdengar.
"Udah puas ?" tanyanya saat merasakan bahuku yang sudah berhenti bergetar dan isakanku yang sudah mulai tak terdengar. Aku mengangguk pelan tanpa mengalihkan kedua tanganku. Ia menarik kedua tanganku perlahan, membukanya hingga menampilakan wajahku yang berantakan. Ia menuntun tangannya menghapus air mataku yang meleleh membasahi kedua pipiku dengan sapu tangan yang ia bawa. Aku merebut sapu tangan itu,
"Gue bisa sendiri." ucapku lirih.
"Muka lo jelek kalo nangis, jijik gue liatnya." ucapnya.
"Sialan lo!!" ucapku sambil memukulnya dengan sapu tangan. Aku tertawa lirih dan ia juga ikut tertawa. Lihat, jika dia sedang denganku tidak ada lagi sosok Rifan yang cool dan cuek. Berbeda dengan sifat yang selalu ia tampilkan kepada orang lain. Sifat inilah yang membuat aku jatuh dalam dekapannya. Aku menarik napas panjang. Menetralkan deru nafasku yang masih belum teratur. Diam sejenak merasakan hembusan angin.
"Gue ga akan nanya apa-apa dulu sama lo kalo lo belum tenang dan siap buat cerita." ucapnya.
"Bagus Fan," ucapku. Ia menatapku bingung, sementara aku memilih menatap lurus. "Dia jalan sama cewe." ucapku lirih, mataku terasa panas lagi. Aku menarik napas untuk menenangkan diri sejenak sebelum kembali bercerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best friend ?
Teen FictionBenar apa kata kebanyakan orang diluar sana. Tidak ada persahabatan murni yang terjalin antara pria dan wanita. Perasaan lebih akan muncul saat keduanya sudah nyaman satu sama lain. Kini hal itu terjawab sudah. Aku merasakannya. Ini tidak mudah dan...