Mareza-part 6a

2.3K 41 0
                                    

Jalan raya Manado-Tomohon, dalam perjalanan pulang...

Hiruk pikuk malam selalu menarik perhatian Mareza, cahaya penerang jalan yang seadaanya sinari bagian sisi jalan; terlihat seperti cahaya dari langit memberkati orang-orang yang melintas dibawah sinarnya.

Hfffhh..dia menarik nafas panjang lalu menyenderkan kepalanya ke kaca jendela angkot yang pada malam itu dia naiki sembari menikmati pemandangan malam yang tersaji seadanya di sebalik kaca jendela. Tak banyak yang bisa ditawarkan namun dia sebagai penikmat tak pernah protes akan hal tesebut, layaknya dini hari yang sesekali dijumpainya, malam adalah saat sang hari menanggalkan semua perhiasan yang tersemat dan menggantinya dengan selimut temaram yang dimaknai berbeda menurut pemikiran masing-masing; entah itu menenangkan, menakutkan, atau justru mencipta kesempatan.

"Dengan cara bagaimana aku bilang perasaanku padanya yah?" gumamnya pelan, benaknya mulai berpendar mencari solusi akan masalah ini. Sebegitu fokusnya hingga Mareza tak lagi perdulikan omelan, celotehan, dan hardikan sesama penumpang yang biasa menghias perjalanan di kota ini. Bahkan hentakan musik Boom-boom dari audio angkot yang biasanya membuat moodnya terjun bebas tak membuatnya bergeming. Tiada; kali ini tiada solusi tercetus ataupun sekedar terpikirkan, yang ada hanyalah sesuatu yang tak disukainya yaitu ketidakmampuan mengekspresikan perasaan melalui kata-kata, hal yang membuatnya tak cukup berguna sebagai seorang individu.

Kontemplasi berakhir ketika dia menekan bel untuk menghentikan angkot didepan gang menuju tempat kontrakannya. Usai menerima kembalian dari pembayaran, Mareza menyeret kedua kakinya menyusur lorong gang yang hanya cukup dilalui oleh satu orang saja meski pada kenyataan tidak demikian karena menjadi satu-satunya akses keluar-masuk warga. Kuaran bau got yang luarbiasa menyengat berebut memasuki rongga pencium Mareza, namun baginya dan warga yang telah lama tinggal di gang ini, aroma itu dianggap sebagai penanda wilayah yang sudah menjadi ritual keseharian mereka tanpa mengesampingkan masalah kesehatan yang mungkin timbul dari menghirupnya. 

Tak lama kemudian, langkah Mareza terhenti di depan sebuah pagar bercat hitam bergembok yang di beberapa bagian telah dimakan karat. Spontan tangannya merogoh saku depan tempatnya menyimpan kunci dari gembok tersebut.

Kriekkk...ngggg!

Bunyi khas yang terdengar ketika pagar depan dibuka tak pernah alpa buat dia menyunging  senyum, entah sudah berapa kali dia mengingati diri untuk melumasi tapi selalu urung dilakukan karena lambat laun dia mulai terbiasa dengan bunyinya, bunyi yang menandai kalau ada yang masuk dan membedakan siapa yang masuk.

Setelah mengembalikan gembok ke posisi terkunci, Mareza mengganti alas kakinya dengan sendal butut yang dia letakkan diatas tong air tempat ia biasa membasuh muka, tangan dan kaki sebelum masuk rumah untuk menyingkirkan aroma yang melekat di pori-pori kulit.

Cklekk

Cahaya temaram menyambut Mareza begitu pintu rumah terbuka, cukup terang untuk memandu tangannya untuk menekan saklar lampu utama yang seketika melimpahi ruangan dengan benderang cahaya dan mulai memasak sesuatu untuk mengisi perut. Namun kali ini urung dilakukannya karena tadi sudah makan dan memilih untuk masuk ke kamar dan menyalakan lampu ber-watt kecil untuk sekedar menerangi untuk berganti pakaian dan kemudian menghempaskan diri di atas kasur busa, menggumam tentang rasa capek yang baru saja terasa sebelum akhirnya menatapi lelangit kamar dalam diam.

Semenit..

Dua menit..

Lamat-lamat pandangan Mareza mengabur sampai gelap gulita.

Keberanian kemanakah pergi?
Kala hati ingin bersaksi
Agar kau bisa ku miliki...
Akankah terjadi?

Tbc

Lelaki 4 Wanita《END》Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang