#37. kenapa?

1.7K 94 24
                                    

"Boleh peluk?"

"Hah? Lo tadi ngomong apa?" Kuminta dia mengulangi kata katanya. Takut salah denger.

"Boleh peluk?" Ulangnya lagi malas.

Dengan cepat kujawab, "GAK! OGAH! BIG NO."

Dia menatapku kesal dengan sedikit gaya gaya cemberut. Imut banget. "Tadi lo main peluk gue gitu aja, sekarang giliran gue minta peluk, lo malah nolak."

"Ish, itukan tadi cuma reflek gue aja." Aku coba membela diri, enak aja minta peluk.

"Kalo gak boleh peluk, berarti beloh cium."

"Mau cium, nih mau cium sepatu gue apa balok kayu." Kuangkat sebelah sepatuku yang yang sudah ku lepas, dan mengangkat sebuah balok kayu yang memang sedari tadi ada di sebelahku.

Dia cuma terkekeh kecil. "Bercanda, gak usah sewot kali."

Gimana gak sewot coba, lo nya aja gitu.

"Udahlah masa bodo, gue mau balik ke kelas." Aku segera berdiri, lalu hendak pergi, tapi tangannya menarik pergelangan tanganku.

"Apa?" Tanyaku cepat. Kesel hayati.

"Kalo gak boleh peluk atau pun cium, berarti lo harus jawab pertanyaan gue yang kemarin." Ucapnya dengan raut wajah serius.

"Pertanyaan? Yang mana?"

Dia berdesis kecil. "Yang di UKS."

Aku ngeloading selam beberapa detik, sampai akhirnya... lah? Yang di UKS seriusan? Gue pikir cuma boongan?

"Jadi gimana?" Tanyanya lagi.

"G-gue..." ok, suaraku kembali macet di tenggorokan. Padahal baru beberapa detik aku masih bisa ngomong lancar dengannya.

Dan dia masih diam menunggu.

"G-gue...gak tau." Hanya itu jawabanku, siapa coba yang gak bingung kalo anak umur kurang dari 20 tahun tiba tiba di lamar sama cowo yang bahkan belum lulus sekolah.

Dia tersenyum tipis. "Gak tau atau gak mau?" Nadanya terdengar seperti menggoda.

"Gak tau lah," jawabku cepat.

"Berarti gue masih ada kesempatankan dong?" Alisnya menaik sembari menatapku. "Kesempatan untuk dapetin lo lagi."

"Te- terserah lah, cape gue." Tanpa mengucapkan apa apa lagi, aku langsung berlari cepat, secepat cahaya (boong banget ) menuju kelas. Meninggalkan Rakka yang tertawa renyah. Sial.

*****

Aku termenung di dekat jendela bangku-ku. Semilir angin beberapa kali mengacak acak rambutku, membuatku sedikit risih karena sensasi geli di wajah.

"Ris lo lagi galau ya?" Tanya Nabila sambil mengunyah kentang gorengnya.

Aku mengeleng. "Gak, cuma cape aja."

Dia ber-oh panjang dan masih lanjut makan.

"Zara kemana?" Tanyaku dengan tatapan masih fokus ke luar jendela.

"Kawlo gawk swalah Twadi diwa jwalan swamwa kwakwak lwo."

"Wei, di telen dulu tuh kentang, mulut penuh begitu." Omelku gara gara beberapa air kuah jigongnya nyembur ke muka.

"Hehehe, sorry friend." Ucapnya setelah bulat bulat menelan gumpalan kentang itu. Dasar rakus.

"Kalo gak salah tadi dja jalan sama kakak lo," ulangnya dengan benar dan jelas, gak kayak tadi, ngomong kayak orang kumur kumur.

Jalan bareng Bang Fadli? Mau ngapain? Masa bodo lah, urusan gue aja belom selesai.

Aku kembali menatap kosong ke arah luar, mengabaikan obrolan gak jelas Nabila. Pusing denger mulut rombengnya.

"Panggilan untuk Arisa Amelia Putri dari kelas XI IPA 4, untuk segera ke ruang kepala sekolah sekarang." 

Aku terkejut bukan main saat mendengar namaku di sebutkan oleh alat berbentuk segi empat itu. Langsun membuat jantungku berpacu cepat.

Tanpa permisi ke Nabila yang juga sama sama terkejutnya, aku langsung pergi ke tempat yang di perintahkan tadi.

Oh god ada apa lagi ini? Perasaan gue selama beberapa minggu ini jadi good student deh. Kenapa malah di panggil ke ruang kepsek.

*****

Ku putar kenop pintu itu perlahan, sembari terus memanjatkan doa, berharap nanti gak terjadi apa apa, atau yang kerennya lagi salah panggil murid.

Pintu kini benar benar terbuka, dan terlihat jelas Bu Hani Prihanto -kepala sekolah- dan seorang pria paruh baya duduk di bangku hadapannya. Tunggu, bukannya pria itu Om Putra. Kenapa ada di sini?

"Oh iya benar ini anaknya." Om Putra terlihat gembira sembari mendekatiku, lalu memintaku duduk berbarengan di sofa tamu.

Tak lama Bu Hani keluar ruangan, menyisakanku dengan Om Putara. Seperti memberikan waktu pribadi untuk kami berdua.

"Jadi Risa, Om kesini untuk membicarakan anak Om yang bernama Rakka, kamu pasti kenal kan?"

Oh, jelas sekali saya kenal, pacar saya malah, dan dia udah ngelamar saya Om. Tapi yang keluar dari mulutku malah, "kenal kok Om." Tentunya dengan nada sesopan mungkin.

"Bagus lah kalau begitu." Entah hanya perasaanku saja atau senyum Om Putra memudar. "Sebenarnya saya memanggil kamu ke sini itu untuk meminta kamu putus dengan Rakka."

Hah!? Maksutnya? Putus?

"Kamu pasti bingung dengan apa yang saya minta ya, gak papa itu wajar."

Aku cuma bisa diam melongo, demi apa pun, aku sangat terkejut dengan permintaan Om Putra yang satu ini. Putus dengan Rakka? Hellow aku baru saja merasakan menjadi pacar yang sesungguhnya beberapa menit yang lalu. Dan Om minta aku  memutuskannya begitu aja.

"Tapi kenapa Om?" Aku berusah menahan sesuatu yang bergejolak, entah itu marah, benci, terpuruk atau apa, tapi perasaan ini sungguh tak nyaman.

Dia menghela nafas pelan. "Karena Om mau...

Brak!?

Pintu terbuka paksa, membuat aku dan Om Putra menoleh pada si sumber suara, dan terlihat Rakka dengan wajah memerah dan rahangnya yang mengeras. Jelas saat ini dia sangat marah.

Ada sebercik rasa senang saat dia datang, serasa seperi di tolong dalam keluarga tiri yang menahanku untuk terus mengikuti kemauannya.

Rakka lo datang di saat yang tepat.

.
.
.
.
.

TBC...

------------------------------------------
---------------------------------------------------

Hai mya readers.
Aduh gimana part ini?
Aneh ya? Sorry, otak ku lagi ngambek dan gak mau kerja sama sama aku. Ish bikin kesel aja nih otak.

Btw besok pada udah masuk sekolah ya. Hehehe, semangat yo. Tapi jujur liburan kali ini serasa libur dua hari doang.

Good bye holiday and hello book, bag, pencil, pan and... my killer. *kok malah curcol.

Ok curcolnya sampe sini aja ya. Ditunggu loh votem darj kalian. See you next part^^

Time For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang