"Dasar bodoh."
"Bisakah kamu berhenti mengatakan hal itu? Aku sudah cukup bosan mendengar perkataan itu selama bertahun-tahun."
"Memang kenyataannya, kamu bodoh. Selama bertahun-tahun aku berkata seperti itu agar membuat kamu sadar bahwa apa yang selama ini kamu lakukan itu salah."
"Dimana letak kesalahanku? Coba tolong jelaskan."
"Cih, masih belum paham juga? Selama ini kamu menyakiti diri sendiri, apakah itu bukan suatu hal yang salah?"
"Beginilah takdirnya, selalu ku tak bisa lepaskan. Sekalinya ku mencoba lepaskan, aku berdarah."
"Namun mau sampai kapan? Sampai kamu mati? Kamu matipun dia akan senang."
"Aku tidak pernah mengerti."
"Kenapa rasanya susah sekali untuk mendengarkan kata-kataku? Kamu tahu sendiri, kata-kata yang ku ucapkan akan membuatmu lebih baik."
"Seyakin itu?"
"Tentu saja, kamu hanya mempersulit keadaanmu sendiri."
"Namun mau bagaimana lagi, aku tidak bisa."
"Sudah ribuan kali ku bilang, lepaskanlah yang sudah harus dilepaskan, lupakanlah yang memang tak pantas diingat, seseorang yang sudah pergi dengan meninggalkan ratusan goresan luka pastilah tak akan pernah kembali."
"Sekarang dengarkan aku, bagaimana bisa melepaskan sesuatu yang sudah hampir kamu genggam? Bagaimana melupakan sesuatu yang setiap detiknya punya alasan untuk tinggal karena fragmen-fragmen kenangan indah? Jelaskanlah padaku, adakah obat yang bisa menyembuhkan sakit dari kehilangan?"
"Namun, hati. Kamu harus rela merasakan kehilangan agar di hari-hari selanjutnya, tak akan lagi ada air mata."
"Namun sekali lagi, fikiran. Aku tidak pernah siap untuk kehilangan."
25-01-2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Kulminasi Rasa
Poetry(Complete) Dan pada kesempatan sisa-sisa hujan terakhir di bulan September aku meminta, berdoa, sekiranya mampukah semesta barangkali sekali saja mendengar laungan doa-doa panjangku. Yang berisi tentang kamu, rangkaian doa yang masih memintamu untuk...