Hari ini aku bertemu dengan seorang perempuan yang kehilangan kekasih. Ku lihat wajahnya sayu dan pucat. Kelopak matanya menunjukkan kesedihan, matanya merah, bibirnya bergetar. Dan, air mata itu selalu mengalir di wajahnya.
Padahal aku tau, perempuan ini adalah sosok seseorang yang pernah aku tanamkan cinta di hatiku dan hatinya juga merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan. Sayangnya cinta terlalu dalam menggilas hidup, hanya perbedaan yang sedikit itu saja sudah mampu memisahkan kami. Apakah itu adil?
Ayah perempuan itu, menolakku. Menolak seseorang yang sungguh-sungguh mencintai anaknya. Hanya karena cara berdoa kami yang berbeda, tujuan hidup kami yang berbeda, serta surga kami yang berbeda. Aku paham sekali tentang perbedaan itu. Yang tidak bisa ku pahami. Mengapa aku harus jatuh cinta dengannya, bukankah masih banyak perempuan di dunia ini? Aku juga tidak mengerti, mengapa dia rela menyerahkan cintanya padaku.
Hingga perempuan itu pun dinikahkan dengan seseorang yang gagah dan tampan. Iya, dari kalangan mereka dengan cara berdoa yang sama.
Hatiku patah, jiwaku rapuh, cintaku hancur. Tapi bagaimana lagi? Tuhan memang tidak mengizinkan kami bersama, cinta kami terlarang dan dikutuk oleh pemilik semesta alam. Apakah aku harus melawan? Tidak. Itu sama saja dengan aku menolak takdir yang semestinya terjadi. Aku yang lalai menempatkan cinta, aku yang bebal, dan terpaksa aku harus melepaskannya.
Perempuan itu memelukku, nyata betul kesedihan itu hadir di hatinya. Merobek sudut jantungnya. Air matanya malah membasahi bahuku.
"Cantik, kau keliru memahami cinta. Seseorang yang mencintai kita dengan tulusnya. Akan memberikan kebahagiaannya untuk kita. Meski dia harus memberikan jantungnya kepada kita"
Perempuan itu pun terdiam, mengusap air matanya. Tersenyum getir.
"Lepaskanlah aku, jika itu kehendak sang pemilik cinta. Sebab, kita hanya pemeran dari drama yang dia ciptakan"Aku mengangguk, nyata aku melepaskannya. Sayangnya belum sepenuhnya aku ikhlas. Tapi, bukankah cinta tidak menuntut apa pun?
Hari ini, langit menangis dengan hebatnya. Perempuan itu pun menangis di pelukanku. Mengadukan kekasihnya yang meninggal. Aku sedih, sebab bidadariku sedang bersedih. Aku tak mampu berkata apa pun. Kami, diam. Sedang kekasihnya di ujung sana sedang terbaring di pusara. Langit kelam, sekelam hatinya. Begitu pun hatiku. Suasana sepi, sekosong hatinya, begitu pun hatiku.
Dan kalian, tidak pernah mengerti caraku mencintai.
*Demi Kamu
KAMU SEDANG MEMBACA
Membunuh Sepi
Poetry(Proses Terbit) Untuk yang mencintai lalu dibenci Untuk yang datang lalu pergi lagi Untuk yang setia lalu dikhianati Untuk yang teguh mempejuangkan lalu dipatahkan Untuk yang memendam lalu terlambat menyatakan, Untuk kamu yang patah hati, Merindukan...