38.0

734 73 2
                                    

Bukan Atha, maupun Devan

Hari memeluk bulan, bulan menjabat tahun, tahun membentuk kelipatan, di sanalah ia hidup dalam penantian.

Enam tahun sudah sejak kejadian itu, ia masih memegang teguh pada pendirian, yaitu menunggu.

Layar laptop menampilkan gambar perempuan yang ia rindukan. Selama enam tahun berlalu, tidak ada komunikasi antara mereka.

Entah si perempuan yang menutup diri, atau si laki-laki yang terlalu takut akan penolakan.

Ia rindu.

Bayang-bayang kemarahan, tangis, dan kekecewaan dari wajah si perempuan selalu berputar-putar di pikiran.

Selama ini, untuk mengobati rindunya pada perempuan itu-Atha-ia akan berselancar di media sosial, untuk mengetahui ada kabar terbaru apa tentang Atha.

Yang ia tahu, Atha bukan lagi gadis SMA yang menye-menye soal cinta. Ia adalah pelukis handal dari Indonesia, yang namanya sudah dikenal di seantero dunia.

Pindah ke belahan bumi lain, seorang perempuan masih terpaku pada layar televisi yang menyiarkan kehebatan pemain bola basket muda asal Indonesia.

Pemain dengan nomor punggung tiga itu, terlihat melambaikan tangan ke kerumunan penonton setelah berhasil mencetak skors.

Atha membuang napas. Tayangan di depan membuat Atha kembali mengingat Devan. Itu semakin membuat Atha merasa bersalah.

Kalau saja, ada satu hari dimana ia dipertemukan pada Devan, Atha tak segan-segan menunjukan kerinduannya pada laki-laki itu.

Atha rasa, ia kagum pada Devan.

Kalimat tidak efektifnya adalah, benar, sangat, dan sungguh-sungguh mengagumi Devan.

Kata orang, cinta ada karena terbiasa.

Tapi bagi Atha, cinta berawal dari luka.

Luka membuat orang terus teringat.

Dan karena terus teringatlah, Atha menjadi jatuh cinta.

Hello, Junior. I Have A Crush On You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang