38.5

819 75 0
                                    

"Devan, Devan, Devan." Suara penoton dari tribune, diikuti tangan-tangan yang memegang poster bergambar Devan, memeriahkan lapangan indoor bola basket.

Satu... dua...

"YEAAYYYYYY...." Lagi-lagi, Devan kembali menambah nilai. Membuat tim bola basket dari negara pemilik patung merlion tertinggal beberapa angka.

Atha belum memindahkan pandangannya pada sosok Devan, walau sebentar. Menurutnya, hal seperti ini tidak bisa disia-siakan.

"Nama gue Agas, gue rasa lo udah kenal." Sekeping percakapan antara Atha dan Agas, sehari sebelum ia meninggalkan Indonesia, kembali muncul.

"Ada apa ya?" tanya Atha, bingung.

"Gue tahu lo suka sama gue," ucapnya to the point.

Atha mengangkat senyum, saat Devan merayakan kemenangan kecilnya, karena tim lawan gagal memasukkan bola ke ring basket.

"Maksud lo ngomong gitu apa?" Atha kembali tersentil perasaannya.

Agas membuang muka. "Lo harus lupain gue. Belajar suka sama orang lain."

"Lo pikir itu mudah?!" jawab Atha, suaranya kali ini melengking.

"Kalau gue cerita beberapa hal tentang Devan, dan poin yang belum Devan ceritain ke lo, gue rasa lo bisa pindah hati."

Atha mendengus. Tak suka.

Peluit kembali dibunyikan. Permainan pun dilanjutkan. Bola dipantul-pantulkan maju, agar mendekat ke ring tim lawan.

Tiba-tiba ada yang menjegal kaki Devan hingga membuatnya tersungkur ke lantai.

Wasit membunyikan peluit, menghentikan permainan
Atha bangun dari duduknya. Raut cemas tercetak di wajah. Apalagi saat melihat sang bintang basket seperti tak ada kesempatan untuk melanjutkan permainan.

"Devan, lo pasti bisa, lo pasti bisa," lirih Atha berulang kali.
Sedangkan dalam diri Devan, mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap bangkit karena suatu alasan.

"Ini live di seluruh televisi Singapura, Dev. Lo harus tetep main dan persembahin permainan ini untuk Atha," batin Devan.

Setelah jeda beberapa detik, akhirnya Devan bangkit dari rasa sakit di bagian kaki. Ia menyatakan siap melanjutkan permainan.

Semua penonton dari Indonesia bersorak bahagia, begitupun Atha. Ia bahkan tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.

"Gue tahu, lo bisa, Dev."

"Ini semua buat lo, Atha."

Selanjutnya, permainan dimulai, walau Devan harus tertatih-tatih saat men-dribble bola.

"Kenapa lo harus ceritain dia? Sedangkan lo tahu, orang yang selama ini gue suka itu lo, Agas!" kesal Atha.

"Karena, dia tahu rasanya suka sama orang yang suka sama orang lain. Sama kayak lo, kan?"

Atha mengepalkan tangan. Devan memang seperti ia nasibnya. Bertepuk sebelah tangan.

"Lo itu cuman kagum sama gue, cuman penasaran. Lo nggak bener-bener suka sama gue, Atha," Agas mengucapkannya dengan serius, seakan ingin membuka mata Atha dengan lebar.

Atha mendengus keras. "Harusnya gue seneng, karena lo udah tahu perasaan gue ke lo itu kayak gimana. Tapi kenapa lo nyuruh gue buat suka sama orang yang udah bohongin gue, sih!"

"Lo cuman perlu membuka hati. Ini memang sakit. Tapi percaya, orang yang lo cari, yang lo butuhin, yang cocok sama lo itu Devan."

Atha tak bisa dengan mudah menerima ucapan Agas. Ini sangat aneh, saat orang yang kamu suka jodohin kamu sama temennya sendiri, sedangkan orang itu tahu perasaanmu ke dia itu bagaimana.

"Kasih gue alasan, kenapa harus dia?"

"Karena Devan, yang dari awal suka sama lo, bukan gue."

Suara tepuk tangan dan yel-yel berbunyi 'INDONESIA' memenuhi lapangan indoor. Beberapa menit bergelut mendapatakan si oranye, akhirnya tim Indonesia berhasil membawa pulang gelar juara.

Apalagi, penampilan terakhir ditutup oleh aksi mengesankan Devan dalam melempar bola basket ke ring.

Setelah euforia kemenangan itu, pemain bola basket kembali ke ruang ganti. Sedangkan para penonton dari Indonesia, satu persatu pamit meninggalkan tempatnya, dengan perasaan bangga.

Atha sendiri tidak keluar gedung seperti orang-orang. Ia sudah punya rencana sendiri kali ini.

Satu persatu anak tangga di tribune penonton ia turuni, hingga mencapai bagian bawah. Selanjutnya, Atha masuk melewati lorong yang digunakan pemain basket keluar masuk. Atha memang mau menuju ke ruang ganti, dan bertemu dengan Devan.

Setelah bertanya ke orang lewat letak ruang ganti tim Indonesia, akhirnya Atha menemukan keberadaan Devan.

Dari belakang Atha bisa melihat punggung laki-laki itu. Keringat bercucuran dari kepala, membuat kausnya ikut basah. Devan tidak menyadari keberadaan Atha.

Selain karena Atha menyuruh teman-teman Devan untuk diam, laki-laki yang kini makin tinggi itu sedang sibuk mengikat tali sepatu.

Atha mengambil sesuatu dari tasnya. Ia menahan diri untuk tidak memeluk Devan saat itu juga. Ia ingin membuat kejutan.

Satu langkah, dua, tiga, dan...

Cess.

Rasa dingin dari botol minuman menempel di pipi Devan. Laki-laki itu memegang botol beserta tangan pemilik, sambil menoleh ke belakang.

Devan terkejut. Ia mengerjapkan mata tak percaya dengan apa yang ia lihat. Rasanya seperti kejadian yang ia mimpikan tiap malam.

Atha menyambut Devan dengan senyum lebar, tidak peduli dengan bagaimana ekspresi Devan saat ini.

Sambil berdeham, Atha berujar sarkastik, "Kalau mau ngasih minum itu, langsung ke orangnya. Jangan lewat orang lain. Jadinya, nggak salah paham, kan?"

Dan Devan paham dengan maksud ucapan Atha.

Hello, Junior. I Have A Crush On You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang