Rival

16.7K 1.8K 131
                                    

Sebuah kewajaran jika Delvin dan Melvin meributkan masalah sepele. Rebutan duduk di kursi depan, misalnya. Mereka masih anak-anak; makhluk polos dengan segala imajiniasi liar.

Anak-anak merupakan spesies yang tidak rasis, tidak munafik, selalu bahagia, dan apa yang diucapkan selalu dari hati yang paling dalam. Bahkan sarkasme yang berbunyi, "If a man says you're ugly he's being mean. If a woman says you're ugly she's envious. If a little kid says you're ugly, you're ugly." nampaknya tidak terlalu salah.

Lantas bagaimana dengan orang dewasa? Bolehkah mereka membesarkan masalah kecil? Contohnya seperti rebutan duduk di kursi depan.

"Bang Gara, Lean, ayo, dong! Melvin bisa telat, nih."

Alean dan Segara adalah orang dewasa, itu fakta. Alean dan Segara sedang membesarkan masalah kecil, itu juga fakta. Dua manusia ini sama-sama tak mau mengalah. Mereka masih rebutan tempat duduk di sebelah Tora.

Tidak ada yang tahu kapan pastinya kerusuhan ini terjadi. Beberapa menit yang lalu, suasana masih sangat tenang. Tora datang untuk mengantar ke stadion tempat Melvin bertanding. Alean pun sudah dandan semenarik mungkin. Ketika Alean hendak masuk ke mobil, tiba-tiba saja Segara datang mengacau. Napasnya ngos-ngosan, kepalanya banjir keringat, dan kaosnya yang berwarna abu-abu tampak lusuh.

Awalnya ia mengaku hendak mengambil dompetnya yang ketinggalan. Namun, siapa sangka ia keukeuh ingin ikut.

Oke, di situ Alean tak bisa protes. Selain Delvin dan Melvin yang merindukan kehadirannya, Tora pun tak keberatan (sepertinya).

Nah, tingkah menyebalkan Segara muncul ketika Alean hendak masuk lagi ke mobil. Cowok cungkring ini melarang Alean bersemayam di depan. Ia menitah supaya duduk bersama Delvin dan Melvin.

"Kenapa nggak kamu aja, sih? Kamu kan, baru datang."

"Saya sering keleyengan kalau duduk di belakang. Takut muntah, Bu."

"Kamu bohong! Tiap ikut ke lokasi proyek, kamu selalu duduk di belakang."

Alean berusaha membuka pintu mobil, Segara menahan tangannya lagi. Melvin kembali uring-uringan, Delvin hanya geleng-geleng kepala kemudian melanjutkan aksinya yang sedang membaca buku. Satu-satunya orang yang tak bereaksi hanya Tora. Ia cuma memandang perseteruan Alean-Segara tanpa ekspresi.

"Bu Lean, please." Segara memasang wajah memelas. Tangannya sengaja ditempelkan dan mimiknya semakin didramatisir. "Dari hari pertama magang, saya pengin banget buat duduk di sebelah Pak Tora."

Baru Alean sadari kalau luka di wajah Segara lebih mengerikan dari yang ia kira. Yang paling jelas adalah goresan di sudut mata kiri dan ujung bibir. Meski sudah kering, luka-luka tersebut berciuman dengan keringat sehingga mau tak mau Alean jadi iba.

"Thanks berat, Ibu Cantik. Kujadi makin sayang, deh." Segara nyengir kemudian duduk di sebelah Tora. "Jalan sekarang, Pak."

Tora mengatupkan rahang sambil mendelik. Lagak bicara dan nada suara Segara sudah seperti majikan yang menyuruh supirnya. Cih, benalu!

"Bang Gara beneran mau nonton pertandingan Melvin?" tanya anak itu. "Muka Bang Gara masih banyak luka."

"Melvin, Bang Gara nggak punya saraf sakit. Jadi nggak usah khawatir."

"Omong-omong, kamu beneran jatuh dari motor?"

Pemuda berkaos abu-abu itu menoleh ke kursi belakang. Bibirnya terurai begitu khas. Sebuah senyum Segara. Senyum yang membuat sekujur wajahnya bermandikan cahaya. "Kok, Ibu tahu, sih? Ngepoin saya, ya? Duh, seneng banget, deh."

TesmakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang