Nona Kesepian

11.8K 1.7K 165
                                    

Tidak pernah Alean merasa segugup ini. Apalagi di hadapan Sharman. Tiba-tiba saja dadanya bertalu dua kali lebih cepat. Lidahnya kelu bibir pun membisu. Parasnya semakin pias. Dan keringat dingin muncul setitik demi setitik.

Seandainya apa yang terjadi barusan merupakan eksekusi program dari syntax coding yang ia ketik, ingin rasanya ia menekan ctrl+z agar sebaris kejadian itu tak pernah ada.

Insiden barusan benar-benar di luar dugaan. Alean sendiri tak habis pikir kenapa Sharman tiba-tiba ada di daun pintu. Semalam ia tidak memimpikan apa-apa dan sejak pagi tidak ada firasat apapun soal lelaki berkulit sawo matang ini.

Alean merasa sakit hati sekaligus muak pada dirinya sendiri. Ia bertanya-tanya, mengapa ia begitu pasrah  ketika Tora hendak menciumnya? Ia tidak mengelak, apalagi berontak. Ketika mulut mereka nyaris menyatu, ia bahkan menggumamkan: benarkah Sharman sudah tergantikan? Bah, benar-benar memalukkan!

Memang bibir mereka tak jadi bersentuhan. Tapi apa bedanya bagi Sharman? Lelaki itu pasti menyaksikan semuanya. Dan Alean berani taruhan, presepsinya pasti menjurus ke sana. Sebuah pengkhianatan!

Jauh-jauh terbang ke Jerman, capek-capek berjuang di sana, tapi apa yang didapat saat pulang? Penodaan kepercayaan!
Jahat nian kamu Alean! Semurah itukah kepercayaan yang Sharman titipkan beberapa bulan lalu? Bukankah kamu pernah merasakan sakitnya dikhiniati? Lantas kenapa kamu melakukan itu pada orang lain?

Alean sudah pasrah. Kalau Sharman marah, memekik, menghina, bahkan mungkin menamparnya, itu adalah haknya. Alean pantas menerima karena ini memang salahnya.

Tetapi yang terjadi justru berbeda phi radian dari yang Alean bayangkan. Sharman tidak marah, atau menghina, atau mungkin menghajar Tora yang sama-sama kaku di tempat. Sharman justru menarik Alean ke dalam dadanya.

“Sayang, aku pulang,” kecap Sharman seraya membelai-belai kepala Alean. “Aku kangen banget sama kamu.”

Alean berusaha menahan tangisnya sekuat mungkin. Bibirnya digigit keras-keras guna menopang perasaannya yang kacau balau. Tetapi rasanya susah sekali. Mata Alean semakin buram karena lapisan air, dan bibirnya mulai terasa perih. Oh, Sharman... Maaf, maaf, maaf! Ingin rasanya Alean mengucapkan kalimat itu, kalau perlu sambil mencium kakinya.

“Sharman,” suara Tora memecah keheningan. Nadanya kaku, begitupun parasnya.

Sharman menoleh ke sumber suara. Mukanya tidak melukiskan kemarahan, dendam, apalagi melecehkan. Padahal sedari tadi Tora membayangkan hal-hal buruk yang terjadi setelah ini. Sharman akan menerjangnya, memberi serangan bertubi-tubi, lalu menggemparkan suasana malam yang tenang.

“Sharman, saya ingin bicara. Empat mata saja. Bisa?”

Sharman melepaskan pelukan namun tangannya dibiarkan tersampir di bahu Alean. “Lain kali aja, ya. Malam ini saya cuma mau bicara sama Alean.”

Sebagai manusia berotak, Tora paham maksud kata-kata itu. Ia pun mengangguk kemudian melirik Alean. Ketika mata mereka bertemu, Tora merasa dadanya perih. Mata Alean memerah, menahan tangis. Bibirnya pun sudah hampir terluka karena gadis itu masih mengigitnya kuat-kuat. Ini pertama kalinya Tora menyaksikan Alean sesendu ini. Padahal sepanjang mereka kenal, kapankah Si Batu Independen menunjukkan sisi merah jambu?

“Kalau gitu, saya pamit sekarang. Selamat malam.”

Tadinya Tora ingin memastikan tidak ada pertengkaran setelah ia melengos. Tapi ketika waktu terus merangkak dan pintu rumah Alean tetap terbuka, dengan tenang ia pun meninggalkan TKP. Tora tahu Sharman mencintai Alean, jadi mustahil lelaki itu menyakitinya. Kalaupun Sharman berbuat kasar, sudah pasti kawasan komplek ini akan segera dikerubungi warga. Lagi pula di dalam ada Delvin dan Melvin, kan?

TesmakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang