Teralihkan

10.6K 1.6K 133
                                    

Keesokan harinya Alean sudah termangu di meja kerja. Ditemani tumpukan berkas, laptop yang menyala, puluhan sticky notes, dan dua kalkulator scientific yang tergeletak kesepian.

Semalam Alean sudah berniat akan mengorek masalah pungli. Jadi selepas menunaikan sholat shubuh, ia tidak melanjutkan bobok cantiknya, melainkam langsung mendarat ke meja kerja.

Sejauh ini, kecurigaannya tertuju pada jenis fiber optic yang telah diganti. Jaringan yang harusnya dibangun menggunakan FO jenis multimode malah diganti dengan singlemode. Multimode memiliki ukuran core yang lebih besar dibanding singlemode. Yakni, berkisar antara 50 sampai dengan 100 mikrometer. Hal ini mempengaruhi nilai Numerical Aperture yang tergolong besar sehingga sinar informasi bisa bergerak lebih efektif, dan juga memudahkan dalam penyambungan core.

Selain itu, di sebagian berkas yang ia baca, ada beberapa kejanggalan lain. Salah satunya ketidaksesuaian komponen yang dipakai dalam pemasangan jaringan. Seperti aksesoris FO, jenis splitter, dan total panjang kabel yang ditarik dari tiang pertama. Hal itu menimbulkan kejomplangan nominal rupiah di antara RAP dan RAB.

Alean hendak membaca berkas proyek berikutnya ketika bel berdenting tiba-tiba. Tak perlu menunggu sang tamu menekan untuk kedua kali, Alean sudah beringsut. Setelah merapikan rambut sebentar dan memastikan tidak ada belek di matanya, ia langsung membuka pintu.

Dheg! Jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik.

Tidak ada badai, tidak ada topan. Tapi yang tegak di depannya memang Sharman Rahardian.

"Hai, Lean," sapanya sembari mengurai senyum tiga jari.

Alean harus meneguk ludahnya agar bisa mengontrol diri. Terlebih karena lelaki ini masih semenarik dulu. Badannya tinggi tegap. Dadanya bidang. Rambutnya ikal menggoda. Kulitnya cokelat maskulin. Dan aroma parfumnya tetap sekuat dulu. Seakan pabrik parfum tiba-tiba pindah ke samping Alean.

"Delvin dan Melvin baik-baik aja, kan?" Itu pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Alean.

Meskipun Sharman tak berunah secara fisik, tetapi Alean yakin ada setitik perbedaan darinya. Yakni, pancaran matanya. Ada kilat sendu yang merayap di sorotannya.

"Delv..."

Belum sempat Sharman meneruskan inti kalimatnya, sekecap teriakan di belakangnya membuat Alean menoleh.

“Aleaaaaaan!” Delvin dan Melvin meluncur bak alap-alap. Tanpa ragu mereka pun menubrukkan diri ke pelukan gadis itu.

Alean menyambut terjangan mereka. Dan ketika tiga raga itu saling dekap, tidak ada dialog sama sekali. Mereka sama-sama terkubur dalam pesona keharuan. Hanya tangan yang saling melingkar, dekapan yang semakin erat, dan deru napas yang mengeluarkan impuls kerinduan yang melimpah ruah.

Di balik adegan pelukan itu Sharman menyungging haru. Ia benar-benar tersentuh. Ternyata memang Alean semata yang bisa menjinakkan kedua anaknya. Hanya Alean, cuma dia.

“Lean, Delvin kangen banget!”

“Melvin lebih kangen!”

Alean merenggangkan rangkulan tangannya ketika Delvin dan Melvin melepas pelukan. Lalu ditatapnya dua bocah itu, dan sekonyong-konyong air matanya terjun ditarik gravitasi.

“Kok, Lean nangis?” tanya Delvin keheran-heranan.

Alean berusaha menghentikan bulir-bulir yang menjilati pipinya, namun usahanya itu sia-sia. Semakin ia menyeka, justru malah semakin banyak bening yang tumpah. Tentu saja Delvin dan Melvin bingung. Keduanya saling tatap kemudian menampakkan tatapan polos khas anak kecil.

TesmakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang