Alean baru ingat makan malamnya dengan Tora tepat pada saat kakinya menginjak lantai rumah. Kalau tak salah pukul delapan malam. Jangan tanya seterkejut apa dirinya. Terlebih setelah memeriksa ponsel. Bola matanya saja nyaris melompat saking kagetnya.
Ia sudah menelpon balik, tapi semua panggilannya selalu ditolak. Pesan-pesan yang berisi rasa penyesalan pun tak diacuhkan. Sampai merajuk Delvin dan Melvin lantaran Alean sibuk dengan ponselnya, kompensasi dari Tora tak kunjung tiba.
Usaha lain yang dilakukan Alean adalah menunggunya di depan pintu lobi. Ia sengaja datang setengah jam lebih pagi guna menjabarkan kekeliruan ini. Tapi apa daya, Tora ternyata tidak datang. Amanda——sekretaris Tora—— bilang bahwa bosnya itu tidak akan ke kantor sebab ia sedang menyelesaikan urusan di beberapa lokasi proyek.
Sia-sia Alean menunggunya dengan harap-harap cemas. Hingga hari telah melompat ke 72 jam berikutnya, mereka masih belum menyelesaikan perkara. Entah Aleannya yang sama-sama riweuh menangani masalah pungli, entah Tora yang sengaja menghindar.
Toktoktok...! Ketukan pintu membuat Alean berpaling dari berkas yang tengah dibacanya. Ketika pelaku pengetukan menampakkan sekujur kepala, keresahan Alean berubah menjadi kejengkelan.
“Masuk,” titahnya dengan nada judes. “Silakan duduk!”
Si Mata Abu-Abu berpostur tinggi itu duduk dengan waspada. Seakan-akan kursi yang menahan bokongnya bakalan meledak kalau dia tidak hati-hati.
“Saya mau minta tanda tangan Ibu untuk laporan magang.”
“Boleh aja,” kata Alean setengah mencibir. “Tapi sebelumnya, kamu harus jawab pertanyaan saya. Ke mana aja kamu selama ini?”
“Ke luar kota, Bu.”
“Jangan bohong!” sentak Alean. “Lewat isian daftar hadir, saya sudah tahu berapa kali kamu mangkir tanpa keterangan."
"Maafin saya, Bu Lean."
"Memangnya kamu pikir kantor ini punya nenek moyang kamu?”
Ditembak begitu Segara tidak berani menjawab, apalagi bercanda seperti biasa. Di ruangannya, Fenina sudah menjelaskan semua. Termasuk kejengkelan Alean gara-gara Segara bolos. Kebetulan juga kantor sedang kalang kabut mengurus masalah internal, jadi dapat dipastikan Segara bakalan kena semprotan maut.
“Sekali lagi saya tanya, sepuluh hari ini kamu ke mana?”
“Ke luar kota, Bu.”
Stok kesabaran Alean semakin menipis. Ia merasa sekujur badannya panas dibakar emosi. Ia begitu kesal, jengkel, dan ingin meledakkan diri. Tapi begitu ia mengatur napas sebentar, ia sadar ia harus mengontrol diri. Ia paham kalau kemarahannya merupakan manifestasi psikologinya yang kacau karena setumpuk masalah.
“Ngapain kamu ke luar kota?” Alean bertanya lagi setelah logika dan perasaannya bersinergi.
“Nge-band.”
“Nge-band?!” pekik Alean. Suaranya kembali menginjak nada tinggi. “Jangan bilang keabsenan kamu selama ini pun gara-gara nge-band?”
“Iya.”
Demi Tuhan, Alean ingin sekali menampar pipi Segara hingga lelaki ini terjerembab ke belakangan. Di saat keadaan kantor sedang tidak stabil, Segara memilih nge-band daripada magang. Sialan! Alean merasa disepelekan.
“Kalau gitu, saya nggak mau tandatangani laporan kamu,” kata Alean. “Dan asal kamu tahu, saya bakal laporin ini ke dosen pembimbing kamu. Biar kamu ngulang.”
Segara tidak menyahut. Pemuda tiang listrik ini hanya mengembus napas pasrah. Dan baru Alean sadari, sejak tadi mimik Segara agak ganjil. Sedikit resah, tertekan, dan berlumur pilu. Tampang seperti itu jelas bukan milik Segara, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tesmak
Literatura FemininaSetelah hidupnya dipermainkan nasib--di mana ayahnya kabur dan kekasihnya menghamili gadis lain--, Alean kembali digoda oleh suratan takdir. Ia yang hanya seoongok anak jadah diperebutkan LIMA lelaki sekaligus!!! 1. Cinta pertama yang pernah mengk...