Sang Masa Lalu

24.1K 2.9K 51
                                    

Alean merutuk sambil menutup kap mobil. Untuk sekian kali ia merenungkan gelarnya. ST alias Sarjana Teknik. Seandainya tekniknya adalah teknik mesin, pastilah ia bisa membetulkan mobilnya yang mogok ini.

Tetapi rupanya pikiran tadi ditukasnya juga. Teknik apapun itu, teknik tetaplah teknik. Yakni, menyelesaikan problem secara cerdas. Bukan malah menyesal dan merutuk.

Alean masuk ke mobil untuk mengambil tasnya. Ia lekas menelepon bengkel langganan lalu menjelaskan keadaan mobilnya. Setelah tiga menit berbincang iapun memutus panggilan, lalu memutar kepala ke semua penjuru. Berharap ada kendaraan umum yang akan melesatkannya ke kantor.

Kebetulan sekali bus kota datang. Ia langsung masuk begitu besi berjalan tersebut menepi. Keadaan di dalam persis seperti yang dibayangkannya. Sesak, penuh, dan ramai. Yang tersisa tinggal satu kursi lantas Alean cepat-cepat duduk di sana.

Bersamaan dengan pantatnya yang menempel ke kursi, ponsel di tasnya bergetar. Sambil menyandarkan punggung iapun membuka notifikasi.

Tolong beri aku waktu buat bicara, Lean. Aku tunggu di lobi kantor kamu.

Alean mengucek mata. Ia memeriksa riwayat panggilan semalam dan mencocokkan nomor. Benar dugaannya. Pesan ini dari Sharman.

Sial! umpatnya dalam hati. Untuk apa Sharman menghubunginya terus? Tidakkah ia tahu kalau tindakannya bisa jadi fitnah kalau istrinya tahu? Huh, merepotkan sekali!

Jangankan berniat membalas, membaca ulang saja Alean sudah malas. Dan ia tahu sekali bagaimana harus bersikap. 

Ia mencari satu kontak lalu mengetik : Lex, saya langsung ke lokasi. Bilangin hal ini sama Pak Tora. Nanti pas kamu nyusul, jangan lupa bawa anak magang yang kemarin.

Ia lega ketika bawahannya mengiakan. Mau sampai kapan Sharman menunggu, ia tak akan peduli. Apapun yang terjadi, Alean tidak akan lengah lagi. Sudah cukup pengkhianatannya waktu itu. Sudah cukup hatinya terluka gara-gara satu kata lima huruf ——paling sial—— alias cinta.

Ketika Alean memasukkan ponsel ke tas, bus berhenti di halte. Banyak sekali yang naik. Mayoritas pegawai pabrik dan tak sedikit yang seumuran dengan dia. Lapak untuk yang berdiri semakin menyesakkan, bahkan tubuh Alean mulai terdesak. Wah, kalau sudah begini kewaspadaan harus ditingkatkan.

Alean memeluk tasnya dan mendadak pandangannya jatuh pada seorang nenek yang baru naik. Meski ia tahu dirinya bukan orang baik, Alean punya nurani. Ia beringsut dan menyilahkan sang nenek untuk bertukar tempat.

"Bang, jangan digas dulu, dong!" bentak Alean ketika bus mendadak digas. Sontak beberapa mata langsung menoleh ke arahnya. Tapi Alean tak peduli. Ia malah membalas tatapan kepo mereka dengan dagu terangkat.

Kebiasaan supir angkutan umum memang begini. Tidak peduli pada penumpang. Mau mereka berdiri ataupun kayang, yang penting setoran jangan melayang. Hh, dasar!

"Nuhun pisan ya, Neng."

Alean mengangguk, bus yang mulai melata. Kemudian, dari tasnya muncul getaran panjang namun Alean tak mau mengambilnya. Getaran panjang tersebut pastilah sebuah panggilan. Mungkin dari bawahannya yang bernama Alex, mungkin juga ... Sharman.

Haish, kenapa harus seGR itu? keluhnya sambil mengeratkan pegangan.

Sharman ... Sharman ... Sharman ...

Lelaki itu masih sama. Yang beda cuma di auranya saja yang lebih gagah. Lebih mantap. Lebih dewasa.

Rambutnya yang legam ikal masih terpotong rapi dengan poni yang menutupi kening. Dengan kulit hitam manis terlihat semakin maskulin. Kemarin ketika berpapasan, secara tak langsung Alean mencium aroma parfumnya. Astaga, baunya tetap khas! Bau Sharman.

TesmakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang