Ilunga (c)

18K 1.6K 254
                                    

Ketika logika telah terlingkupi kegelapan. Ketika hati sudah terlalu penat dengan segala penderitaan. Di situlah keputusasaan datang mengintai, lalu membisiki sesuatu di luar nalar.

Seperti itulah yang Alean rasakan. Saat ini ia terkukung dalam lumpur keputusasaan yang begitu dalam. Dunianya tiba-tiba terasa gelap gulita. Tidak ada pegangan, tidak ada penolong. Ia seperti berjalan seorang diri. Tak bertuhan. Tak punya harapan. Semuanya hampa.

Rasa yang termaktub dalam kalbu hanya kesakitan dan dendam. Sakit hati membawanya pada kepiluan tak berkesudahan. Sedankan dendam, asa itu seperti membakar kesinergian antara logika dan perasaan.

Ketika memandangi sebotol potassium sianida di tangannya, ia terdian cukup lama. Membayangkan jatuh bangun kehidupannya yang didominasi kesengsaraan. Mulai dari terlahir dari darah kotor seorang pezina, lalu masa kanak-kanak yang penuh hina dina, hingga takdir menjadi istri Si Bajingan, rasanya segala penderitaan tak pernah berhenti menghadangnya.

Kini Alean tak tahan lagi. Pola pikirnya tak berjalan dengan baik. Ia laksana musafir yang linglung di tengah gurun. Segala beban yang menimpa diri seperti melarutkan semua akal. Lantas tanpa ragu dibukanya botol potasium sianida, dicemplungkannya beberapa butir ke dalam kopi, lalu dihampirinya Si Bajingan di ruang tamu.

Ketika Alean menaruh kopi di atas meja, pintu ruangan diketuk seseorang. Merasa Sharman tak berniat bangkit dari sofa, maka Alean pun berinisiatif. Ia menghampiri jati berengsel, lalu membukanya.

"Sharman ada?"

Jemari Alean terkepal dengan sendirinya. Belum sempat ia mengecapkan sepatah kata, si tamu sudah menerobos lalu menghampiri Sharman.

"Monna?" kata Sharman salah tingkah. "Ngapain kamu ke sini?"

"Aku kangen." Monna merapat ke tubuh Sharman. "Oh iya, Delvin dan Melvin ada?"

Sharman berusaha menjauhkan diri. Terutama setelah Alean menatapnya tanpa ekspresi.

"Mau kamu yang usir, atau aku yang tendang dia dari sini?" kata Alean sarkatik. Tidak ada rasa skeptis dari suara maupun tatapannya. Dan karena Sharman terlalu lama berpikir, ia pun jadi mengambil keputusan sepihak. Ditariknya Monna dari tubuh Sharman, lalu dikatakannya dengan marah, "Sebaiknya kamu pulang, Wanita Jalang!"

"Kasar sekali mulut Anda ini, ya."

Alean mencengkeram lengan Monna. "Keluar sekarang, atau kupatahkan tanganmu!"

"Aw, Sharman! Sakiiiit. Tolongin aku. Aduh!"

Sharman beringsut lalu menghampiri keduanya. "Alean, Monna, jangan kayak gini."

"Aku cuma mau ketemu Delvin dan Melvin. Salahkah itu?"

"Kamu nggak berhak menemui mereka," desis Alean.

"Sharman, kamu jangan diem aja. Aduh, tangan aku hampir patah, nih!"

Sharman mencoba memutar otak. Kepalanya yang sedang pening makin pusing melihat kegaduhan ini. Alean semakin mencengkeram lengan lawannya, sedangkan Monna mengaduh lagi.

"Lean Sayang, lepas dulu Monnanya, ya," kecap Sharman mencoba bernego. Suaraya dibuat sedemikian lembut dan penuh pengharapan. Belakangan ini ia memang harus menggunakan cara bicara seperti itu ketika bercakap dengan sang istri.

Alean memang sudah berubah. Ia bukan saja gampang meledak tanpa alasan jelas. Ia pun amat mudah tersinggung. Terutama kalau masalahnya berhubungan dengan Delvin dan Melvin. Sempat dua bocah itu menanyakan soal keanehan Alean, namun dengan bijak Sharman menjelaskan bahwa Mama sedang ada di fase terendah. Jadi wajar kalau sekarang agak lain.

TesmakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang