Sebuah Kesahihan

9.2K 1.4K 182
                                    

"Mas nggak mau nyakitin kamu lebih jauh lagi," kata Tora tenang-tenang. "Jadi emang lebih baik kita bercerai."

"Mas keterlaluan!" Amanda mengatakannya dengan mata berkaca-kaca. "Kalau Mas nggak bisa mikirin aku, seenggaknya pikirin Rama. Usianya bahkan belum dua bulan, Mas. Masak iya, dia harus kehilangan ayahnya?"

Kali ini Amanda benar-benar menangis. Dari sekian kesedihan, inilah titik terendah dalam hidupnya. Suaminya ingin berpisah. Ingin mengakhiri bahtera mereka yang sudah berlayar dua tahun lebih.

Pada map yang tertumpuk di atas meja tertuang tandatangan Tora. Bukan saja di surat cerai, melainkan di surat perjanjian pula. Tora mengatasnamakan seluruh harta——yang terdiri atas rumah dan segala bendanya, tabungan di bank, serta saham Cellcom Corp——untuk Amanda dan Rama. Ia tidak menyisakan sepeserpun untuknya. Barangkali hal itu untuk membalas jasa Amanda. Barangkali pula sebagai penebus dosa karena selama ini hanya penderitaan yang diberikannya.

"Silakan tandatangani surat cerainya, Amanda."

"Aku nggak mau!"

Amanda kembali menyembulkan bulir-bulir dari matanya. Mukanya sudah sedemikian memelas. Tangisnya pun semakin tergugu. Tora bisa merasakan sakit tak terperi lewat sesenggukan istrinya. Tetapi memang naas, ia tak bisa mengoreksi kesalahannya.

"Mas Tora, aku mohon..."

Tora beringsut dari posisinya. Ia duduk di sebelah Amanda, kemudian memeluk perempuan itu dengan hati-hati. Dibiarkannya Amanda tersedu di dadanya, ditahannya sakit yang mencabik-cabik dada.

"Sebesar itukah cinta Mas buat dia?" isak Amanda putus asa. "Aku tahu Mas nggak pernah cinta sama aku. Tapi demi Rama, Mas. Aku mohon jangan ceraiin aku."

Tora menggigit bibirnya kuat-kuat. Saya sayang kamu, Amanda, batinnya getir. Tapi kamu terlalu baik buat saya.

*
*
*

Pertama, kamu harus manggil aku Bee.

Dua, kamu harus berlutut sambil memohon di hadapan aku.

Ketiga, kamu harus nikah sama aku.

Segara mendecakkan lidah. Meskipun harapannya sudah kandas, meskipun dunianya kembali gelap, meskipun  hatinya merasa serba salah, ia bisa mencetuskan bahwa isi pesan Bianca memang gila.

Tadi Segara hanya menyapa satu kata——itupun untuk memastikan benarkah dia bisa membantu Alean——, namun perempuan itu langsung membalas dengan syarat-syarat gila. Namun terlepas dari gila ataupun tidak, Segara memang tak peduli. Ia sudah tak punya harapan lagi. Aleannya sudah pasrah, ia pun kehilangan gairah.

Sekarang kamu di mana? Bianca mengirimkan pesan baru.

Segara memberikan lokasinya.
Dan kurang dari lima belas menit menunggu, Nona Gila yang dihubunginya sudah tiba. Wajahnya bersinar. Senyumnya masih begitu memikat. Dan tindak-tanduknya mantap seperti biasa.

"Kamu mau ngobrol di mana?" tanya Bianca yang masih duduk di hadapan kemudi. "Tapi kalau boleh saran, sebaiknya di mobil aja. Yang aku tunjukin ini benar-benar fantastis."

Segara tidak protes, apalagi mengeluh. Ia langsung masuk mobil lalu duduk di sebelah perempuan itu. Ketika bokongnya menempel sedetik, alisnya langsung terangkat. Ia memandang sodoran Bianca dengan bingung.

"Itu perban milik Sharman," kecap Bianca seraya mengangsurkan plastik di tangannya. "Coba kamu perhatiin baik-baik."

Segara mengikuti instruksinya. Ditataplah gulungan perban itu dengan hati-hati, dipahaminya apa yang janggal. Dan ketika matanya melihat kilau serabut dari sana, saat itu juga dadanya berdetak gila. Astaga!

TesmakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang