Topeng Sang Kembar

9.2K 1.4K 88
                                        

"Aku bersedia bantu Alean," Bianca berkata tanpa diminta. "Asalkan kamu mesti lakuin tiga hal."

Segara cuma mendengus. Ia harus ekstra hati-hati. Perempuan di hadapannya ini licik seperti ular. Seandainya tadi perutnya bisa diajak kompromi, Demi Tuhan Segara tak pernah sudi berbincang dengan sang mantan.

"Yang pertama, kamu harus manggil aku kayak dulu. Alias Bee. Yang ked..."

Segara mengembus napas berat. Mimiknya menunjukan kejemuan. Badannya langsung beringsut.

"Kamu nggak mau nyelametin Alean?"

Tentu saja Segara mau. Tapi jika jalannya mesti lewat Bianca, tunggu dulu! Bau-baunya seperti ada udang di balik bakwan.

"Aku seneng kamu mau bantu," ujar Segara. "Tapi untuk saat ini, biar aku usaha sendiri dulu."

Segara tak ragu dengan kata-katanya. Meskipun usahanya terhambat karena Alean masih enggan buka suara, ia belum kehabisan akal. Hal itu di buktikannya di keesokan hari. Ia meluncur ke ibukota. Untuk menemui Delvin dan Melvin. Untuk mencari petunjuk.

Tetapi sayang, untuk kesekian kali rencananya tak berjalan mulus. Ketika ia mendatanagi alamat rumah yang didapatkannya dari Pak Mail, hasilnya jauh dari ekspektasi.

"Dibawa tante kandungnya." Begitu ketusnya suara pria di hadapan Segara. Ada nada muak yang terkandung di dalam kata-katanya.

"Kalau saya boleh tahu, kenapa mereka nggak diurus di sini?"

"Tadi kan saya sudah bilang, dua setan itu dibawa tante kandungnya." Pria itu mendengus. "Sekarang kami nggak punya tanggung jawab apapun terhadap mereka."

"Saya nggak ngerti kata-kata Bapak." Segara masih berusaha sabar. Meski sepasang manusia di hadapannya sudah enggan memberi keterangan, meski mereka menunujukkan kemuakkan. "Kalian berdua orangtua Sharman, kan?"

"Ya, kami orangtuanya Sharman." Pria itu beringsut. "Tapi Delvin dan Melvin bukan anak Sharman."

Terkepal tangan pria itu. Seandainya tidak ditenangkan oleh sang istri, barangkali ia akan meledakkan diri sekarang juga.

"Sebaiknya kamu pulang," Ibunya Sharman masih menjaga sikap. "Saat ini keluarga kami sedang mengalami kekacauan. Tolong kamu mengerti."

Ayahnya Sharman beringsut sambil memalingkan muka. Dibukanya pintu, diperintahkannya Segara agar segera enyah.

Segara bangkit kemudian pamit. Meski hatinya mangkel, ia bersyukur sebab ibunya Sharman sempat memberi tahu di mana Delvin dan Melvin berada. Lantas tanpa membuang waktu lagi ia pun meluncur ke sana.

Kenapa semuanya jadi kacau begini? keluhnya frustrasi. Kapankah badai ini berlalu?

Kalau boleh jujur, ketika kopaja yang ditumpanginya meluncur, Segara merasa penat. Mana ia belum sempat makan. Apalagi kakinya yang keserempet belum sembuh total. Aduh, alamat ia dikira gembel kalau persediaan uang di dompetnya lenyap.

Segara masuk ke sebuah gang setelah kopaja berhenti. Jalan yang tersedia hanya satu sehingga ia hanya perlu mengikuti sampai ketemu bangunan itu.

Ia mengetuk pintu dan menunggu jawaban. Ketika didengarnya sebuah bantingan kaca, seketika ia terlonjak kaget. Saat ia mencoba membuka pintu, kayu tersebut dikunci rapat. Lantas tanpa berpikir lama ia pun mendobrak tanpa permisi.

"Delvin! Melv..."

Segara meringis dalam hati. Dua bocah yang hendak membanting figura itu menatapnya cukup lama. Sorotannya tidak seperti biasa. Pancaran mata mereka mengartikan permusuhan, pemberontakkan, dan kekecewaan.

TesmakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang