Jurang Berduri

11.6K 1.6K 370
                                    

“Pa, Melvin suka banget sama sepatunya. Makasih, ya.”

Tak pernah selega ini Alean mendengar suara anaknya. Pasalnya, beberapa saat yang lalu ia dilanda cemas luar biasa. Tadi ketika ia menjemput Delvin dan Melvin, dua bocah itu diberitakan telah meninggalkan sekolah. Memang sang guru mengatakan ayah merekalah yang menjemput, namun kelegaan tak langsung dirasa. Terlebih saat nomor Sharman tak bisa dihubungi.

“Besok kalau Papa ajak jalan lagi, Delvin sama Melvin mau, kan?”

“Mau, Pa! Mau banget!” sahut Melvin penuh semangat. 

“Pokoknya Papa janji, Papa bakal beliin apapun yang kalian mau.”

“Yee, makasih, Pa!”

Alean bisa melihat kedua anaknya tampak begitu senang. Terutama Melvin. Matanya menyorotkan senyuman, seringai mulutnya melemparkan kebahagiaan tak terperi, dan pancaran mukanya melukiskan sinar kebanggaan. Selain itu, Melvin pun anteng sekali memilah objek di hadapannya. Mobil-mobilan, robot, sepatu futsal, dan kaos bola. Semua benda itu seperti menarik fokusnya dari kehadiran Alean.

“Lain kali kalau mau jemput Delvin-Melvin bilang dulu,” kecap Alean.

Niatnya memang bukan untuk menciptakan percekcokan, tapi ternyata reaksi Sharman di luar dugaan.

“Emang kenapa? Mereka kan anak aku.”

“Tadi aku panik. Apalagi nomor kamu nggak bisa dihubungi.”

“Aku ini ayah mereka.” Sharman melipat tangan di dada. “Jadi aku berhak bawa mereka kemanapun.”

“Aku cuma ngasih tahu supaya kamu nggak bikin aku panik. Kenapa kamu ngebesarin masalah ini, sih?”

“Kamulah yang ngebesarin masalah,” tukas Sharman tak terima. “Mana ada ayah kandung yang dilarang-larang jalan sama anaknya?”

Dua kata paling sensitif telah mengusik hati Alean. Ayah kandung, kata Sharman barusan. Alean paham sekali hendak ke mana pembicaraan Sharman setelah ini.

“Lebih baik kita bicara di kamar,” kecap Alean setenang mungkin.

Sharman mengiyakan. Ditinggalkannya Delvin dan Melvin yang menatap nanar, diikutinya sang istri yang masuk ke kamar.

“Rasanya udah nggak ada kecocokan di antara kita.”

Alias Alean terangkat sedikit ketika suaminya berkata demikian. “Apa maksud kamu?”

“Aku mau cerai,” tandas Sharman begitu entengnya. Seakan apa yang ia ucapkan hanya ungkapan anak TK yang menginginkan es krim. “Mumpung belum ada anak di antara kita.”

“Kenapa larinya ke situ lagi, sih?”

“Karena emang begitu keadaannya,” kecap Sharman. “Kamu nggak bisa kasih aku anak dan akhir-akhir ini kita sering cekcok. Daripada nanti makin runyam, ada baiknya kita pisah.”

“Apapun yang terjadi, aku nggak mau cerai,” sahut Alean mantap.

“Kamu punya karir yang bagus, umur tergolong muda, dan paras cantik, Lean. Di luar sana ada banyak lelaki yang mau sama perempuan sejenis kamu.”

“Terus gimana dengan Delvin dan Melvin?” Kali ini suara Alean separuh membentak.

“Mereka ikut aku,” tandas Sharman. “Karena mereka anak aku.”

“Mereka anak aku juga.”

“Tapi bukan anak kandung.”

Teriris hati Alean mendengar kata-kata itu. Saking perihnya, rasa sakitnya sampai ke sumsum tulang belakang. Begitu nyeri. Perih. Sakit.

TesmakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang