Flipping

2.6K 196 5
                                    

Seminggu. Sudah satu minggu.

Hari itu memang tidak ada yang terselesaikan. Hanya Dias yang kini sudah menjadi Dallas dan begitupun sebaliknya. Entah apa maksud anak tertua keluarga Hugo, tapi Damas pikir, benar juga kata putra sulungnya.

Mereka sudah terbiasa dengan Dallas sebagai Dias dan Dias sebagai Dallas. Menurutnya tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali tentang istrinya yang masih saja mengurung diri.

Beberapa hari lalu Clarin dan Dallas (in this case, Dias sudah menjadi Dallas) bertemu secara pribadi di ruangan ibunya. Damas tidak ingin tahu mereka membicarakan apa. Intinya dia ketahui setelah Dallas dan dirinya sarapan bersama sehari setelahnya. Clarin yang kata Dallas menangis tersedu-sedu dihadapan anaknya, kemudian minta maaf dengan histeris sesekali lalu menyetujui permintaan Dallas. Hanya itu dan anak sulungnya tidak menceritakan lagi hal-hal lainnya.

Dias tidak pulang ke rumah, bukan tanpa alasan tapi lebih kepada ingin menenangkan pikirannya sendiri. Untungnya, Suri ada disana dan Damas selalu mendapat laporan dari anak gadis keluarga Singgih itu. Perihal anaknya yang masih saja sulit diajak terapi dan masih tidak mau bertatap muka dengan kedua orang tuanya. Apalagi jika Dallas sudah sibuk dengan urusan anaknya, maka Dias akan semakin malas untuk melihat keluarganya.

Tepat ketika Damas mematikan tv dan berjalan dengan pelan kearah ruang tamu, anak bungsunya datang bersama Suri.

"Oh, kamu pulang?" Ucapnya dengan tenang lalu membalikkan tubuhnya berjalan menuju ruang tengah

Suri menarik lengan Dias dan kemudian berbisik pelan, "Salam kek, apa kek? Kok lo jadi batu gini sih ah?!"

"Ih, gue males banget ngomong sekarang, Sur!"

Suri memutar bola matanya jengah lalu mencubit lengan Dias, "Tau gitu, gue tinggalin lu biar dirawat di rumah sakit jiwa sana! Inget kata Om Jo kalo lo tuh harus bisa bersosialisasi sama sodara lo! Jangan nutup diri ginilah! Gimana mau sembuh kalo..."

"Halah, lo berisik banget!" Omel Dias sebelum akhirnya kakinya tersandung beberapa undakan dan membuat Damas menoleh karena pekikan anaknya itu, "It's okay, Pa. I can handle it"

Suri menggelengkan kepalanya gemas, "Masih aja gengsi!"

"Mak lampirrrr" Omel lelaki itu dan kembali berjalan mengikuti Damas yang sudah duduk dengan tenang

"Aku pulang cuma sebentar..."

Suri melirik dengan malas, ada-ada saja ucapan kikuk dari Dias yang membuatnya ingin memukul kepala lelaki itu

"Papa, tahu" ucap Damas kemudian melirik ke lantai atas dan menatap putranya lagi, "Sudah bicara sama Mama kamu? Kamu mau menemui Mama?"

"Don't push it, Pa. Aku masih belum sanggup ketemu Mama dan..."

Damas menaikkan satu tangannya dan mengangguk, menandakan dia ingin memotong ucapan putranya, "Pelan-pelan kalau begitu"

Dias menghela nafas kemudian melirik Suri yang balas menatapnya dengan tajam, "Euh, Pa"

"Ya?"

Anak lelaki itu menghela nafas kemudian menunduk, "Apa gak apa-apa aku bebas karena masalah kesehatan aku? Apa aku gak harusnya tanggung jawab masalah..." Dias menghentikan ucapannya karena ragu melihat raut wajah Damas

Pria paruh baya itu hanya menganggukan kepalanya mengerti dan kemudian tersenyum pada putranya, "Semuanya sudah diurus, sama saudara kamu. Lagi pula kamu bukan yang melakukan pembunuhan..."

"Tapi aku yang kasih Sophia saran begitu..." potong Dias dan Suri mengeraskan genggaman tangannya ketika laki-laki itu bergetar pelan

"Papa mengerti. Polisi sudah urus semuanya sama kakak kamu, dan keluarga Iris. Kalau kamu tertekan karena masalah ini, Papa harap kamu masih ikut terapi dan mencoba menerima semuanya, Dias. Kamu ingat kan kamu tahanan kota sekarang? Cuma ini yang bisa Papa lakukan" jelas Damas kemudian tersenyum samar

FLURRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang