Shania menggigit dan menahan es krim vanilla di mulutnya dengan tangan kanan membuka pintu kamar. Sementara tangan kirinya membawa kantung plastik putih berlogo salah satu supermarket terkenal.
Setelah pintu terbuka, Shania menarik stik es krim vanilla dari mulutnya dan tangan kirinya melempar kantung belanjaan tadi ke atas kasur kesayangannya.
Shania lalu duduk di tepi kasur dan mencoba menikmati es krimnya. Setelah itu, Shania berdiri dan berjalan ke arah meja riasnya untuk mengambil beberapa helai tisu dan mengelapnya ke area mulutnya yang penuh dengan noda es krim.
Setelah membuang bekas tisu, Shania kembali duduk di tepi kasurnya.
Shania menghela nafasnya. Shania tidak berpikir tentang kesehatannya jika sudah bertemu es krim. Seperti sekarang ini, bayangkan saja, Ia sudah menghabiskan tiga es krim malam ini. Es krim pertama Ia makan sesaat setelah keluar dari pintu supermarket. Yang kedua, Ia habiskan setelah es krim pertama habis dan Ia sendiri masih berjalan menuju ke rumah. Dan yang terakhir, yang sekarang ini. Saat Ia sudah hampir sampai di rumahnya dan menghabiskannya di kamar.
Padahal jika diukur, rumah Shania dengan supermarket itu tidak terlalu jauh. Hanya sekitar seratus meter. Itulah Shania, Si Penikmat Es Krim Akut. Ia dapat menghabiskan beberapa es krim dalam beberapa menit. Karena itu, Arga selalu membatasi Shania memakan hidangan lezat itu saat Shania sudah bertemu es krim. Ah, Arga ya.
Shania tidak selalu memakan es krim dalam jumlah banyak. Hanya karena suatu alasan Ia melakukan itu. Alasannya adalah saat Shania mulai khawatir dan panik. Ia akan memakan es krim untuk menghilangkan kekhawatirannya. Untuk menenangkan pikirannya.
Dan malam ini, Ia memakan tiga es krim bukan tanpa alasan. Shania melakukannya untuk menenangkan pikiran. Menghilangkan kekhawatirannya pada seseorang. Seseorang yang sudah menemaninya sejak kecil. Arga.
Arga belum mengabarinya sejak tadi Ia pulang sekolah. Shania khawatir. Ia punya firasat tidak enak semenjak tadi sore menghampiri rumah Arga dan tidak menemui Arga di sana.
Shania menghempaskan tubuhnya dan berbaring di atas kasurnya. Shania lalu menjulurkan tangannya ke atas nakas dan mengambil handphone. Tadi, sejak Ia pulang sekolah, Shania langsung membersihkan dirinya dan berganti baju, setelah itu Shania segera pergi ke supermarket. Shania belum sempat memeriksa handphonenya lagi.
Betapa terkejutnya Shania sesaat setelah Ia membuka lockscreen. Puluhan missing call serta beberapa pesan memenuhi notifikasi handphonenya. Semua panggilan dan pesan itu tidak lain berasal dari Arga.
Shania langsung menekan simbol hijau dan mencoba menghubungi Arga balik. Shania sedikit menyesal karena tidak membawa handphonenya saat ke supermarket tadi.
Dan sekarang, operator menyatakan bahwa nomor Arga tidak dapat dihubungi.
Shania menimang-nimang handphonenya dengan wajah khawatir. Apa Arga baik-baik saja? Kenapa ia belum juga pulang?Shania terus menunggu telepon dari Arga. Ia juga tadi sudah mengirim puluhan pesan pada Arga agar mengangkat panggilan darinya atau menelepon balik Shania. Tapi tidak ada balasan.
Shania mengetuk-ngetukkan layar handphonenya bosan. Hingga akhirnya Ia tidak bisa menahan kantuk yang datang. Shania ketiduran.
-0-
Mata Arga perlahan terbuka. Pandangan pertama Arga hanya cat putih yang mendominasi ruangan ini. Arga merasa bingung dimana dirinya berada.
Arga mencoba menyentuh kepalanya yang terasa pening.
“Argh,” keluh Arga.Arga merasa tangan kirinya terasa kaku saat digerakkan. Arga pun menurunkan pandangannya pada tangan kirinya. Ternyata tangan kiri Arga sudah dibalut dengan gips.
Arga lalu menghela nafasnya pasrah. Ia tau pasti akan ada akibatnya jika Ia mencoba membahayakan diri di area balap liar tadi malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay or Leave
Teen Fiction[REVISI SETELAH CERITA BERAKHIR] "Mencintai dia sama hal nya saat gue mencintai salah satu bintang di langit tapi gak pernah bisa buat gue sentuh bahkan gue gapai. Tapi gue tetap setia di bawah sini buat liat dia walau rasanya cuma bisa mandang dari...