“Nih buat lo.” Shania menyodorkan mie instan yang ia buat sendiri pada Rezzi.
“Thanks.”
Shania memutar bola matanya lelah. “Cuma ngomong thanks doang gitu? Ngomong apa kek lagi. Basa-basi gitu. Emang gue ini dianggap ada ga sih sama dia? Gila ya ini anak. Shania loh ini Shania.”
Shania terus menggerutu sesaat setelah ia mendengar ucapan super singkat Rezzi sambil membelakangi Rezzi berjalan menuju sofa yang berhadapan langsung dengan Rezzi duduk.
Shania mendudukkan bokongnya pada sofa dan langsung menyantap mie instan miliknya.
Tidak ada pembicaraan saat mereka makan. Yang terdengar hanya suara hujan. Namun bukan Shania namanya jika tidak bisa memecahkan keadaan canggung.
“Rumah lo dimana?” tanya Shania.
“Jakarta.”
Shania menghentikkan aktivitasnya. “Lo pasti tau Jakarta luas ‘kan?”
Rezzi menganggukan kepala.
“Lebih rinci lagi bisa, Rez?” Shania sekarang sudah tidak lagi memegang sendok dan garpunya. Memusatkan perhatiannya pada sosok di hadapannya ini dengan dahi berkerut dan emosinya dirasakan akan muncul.
“Jakarta Selatan,” jawab Rezzi masih berkutat dengan makanannya.
“Iya gue tau Jakarta itu ada Jakarta Pusat, Utara, Selatan, Barat, Timur. Tapi daerah nya Rez, daerahnya! Lo tinggal di Jakarta Selatan daerah manannya? Kok lo nyebelin sih? Emang cuma jawab gitu doang susah banget? Takut gue ngintilin lo ke rumah lo gitu?”
Shania mulai merasa emosinya tidak tertahankan. Shania tidak habis pikir manusia ini bisa mempunyai sifat yang begitu annoying. Shania berpikir mama dari makhluk dingin dan menyebalkan ini ngidam apa saat hamil?
Rezzi meletakkan sendok dan garpu yang ia pegang dan mengangkat kepalanya melihat Shania. “Emang kalo tau rumah gue dimana kenapa?” masih dengan muka datarnya.
Tubuh Shania menegang sesaat ditatap dengan mata elang Rezzi dan nada bicara Rezzi yang serius. Rezzi menatapnya intens. Jarang sekali Shania ditatap oleh seeorang dengan seintens ini. Mungkin Rezzi yang pertama.
Shania mengedipkan matanya berulang. “Eng-enggak papa. Cuma nanya. Ya, cuma nanya gue. Emang salah?” Shania gugup seketika.
Rezzi masih menatapnya dengan dahi yang berkerut samar. Seperti menurutnya jawaban Shania tak masuk akal.
Shania berdiri. “L-lo udah selesai makan ‘kan? Gue cuci piringnya dulu ya,” ucapnya dengan gugup mengalihkan pembicaraan.
Shania langsung mengambil piring yang sebenarnya masih tersisa mie goreng yang Rezzi belum habiskan.Sebenarnya Shania tau Rezzi belum menghabiskan makanannya namun ia harus cepat melarikan diri dari hadapan Rezzi karena malu.
Shania merasa dirinya bodoh. Kenapa juga ia harus repot-repot mengetahui alamat lengkap Rezzi? Sudah tau ucapan Rezzi itu mematikan. Tapi ini juga karena Rezzi yang menyebalkan. Rezzi yang irit bicara yang menyebabkan Shania sedikit emosi hampir keluar.
‘Mau taruh dimana muka gue?’ batinnya saat berjalan menuju dapur.
-0-
Suara air mengucur di wastafel dapur. Shania menggosokkan spons yang berbusa pada piring. Mencuci piring bekas ia makan dan satu orang yang berada di ruang tamu. Namun ketika ia sedang mencuci piring terakhirnya, terdengar suara bel rumahnya yang berbunyi.
Shania membuka sarung tangan yang membalut tangannya untuk mencuci piring dan berjalan menuju pintu utama untuk melihat siapa yang bertamu.
Mata Shania membulat kaget saat membukakan pintu. Namun cepat-cepat ia ubah ekspresi tersebut menjadi datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay or Leave
Teen Fiction[REVISI SETELAH CERITA BERAKHIR] "Mencintai dia sama hal nya saat gue mencintai salah satu bintang di langit tapi gak pernah bisa buat gue sentuh bahkan gue gapai. Tapi gue tetap setia di bawah sini buat liat dia walau rasanya cuma bisa mandang dari...