14 - Rival

685 37 2
                                    

Hari ini adalah hari senin dan para murid harus melakukan upacara namun hal itu tidak disukai karena mereka semua harus berdiri di bawah teriknya matahari.

“Aduh gue males banget deh kalau harus upacara,” keluh Nara.

“Gue juga males, soalnya panas terus pegel lagi,” tambah Zia.

“Eh, upacara tuh bagus untuk membangkitkan nasionalisme di diri kalian,” celetuk Shania bijak.

Namun sepertinya ucapan itu terlalu kencang keluar dari mulut Shania sehingga teman-teman kelasnya mendengar.

“Wih gila Shania Teguh,”

“Sok bener lo Shan!”

“Gila Shania kata-katanya keren lah,”

“Anjir Shania bisaan,”

“Mabok Shan?”

Itu lah sebagian jawaban dari para teman-temannya yang mendengar. Shania hanya tersenyum dan berjalan keluar kelas dengan gaya seperti orang yang membanggakan dirinya.

Setelah upacara selesai, siswa-siswi SMA Prisma Jaya langsung memasuki kelasnya masing-masing.

“Shania!” panggil seseorang dari arah belakang tubuh Shania dan teman-temannya.

Mereka pun membalikan badannya untuk melihat siapa yang memanggil Shania. “Eh!”

Shania kaget saat melihat ke belakang ternyata Rezzi --Si cowok dingin-- yang memanggil dirinya.

“Ehm lo yang manggil gue?” Shania mengerutkan dahinya.

Seperti mustahil jika Rezzi berbicara. Apalagi dengannya.
Rezzi hanya mengangguk sekali sebagai jawaban.

“Mau ngapain?” tanya Shania lagi.

Rezzi mengulurkan tangan dan memberikan selembar kertas formulir. ”Isi kata Pak Arya.”

Setelah berucap seperti itu Rezzi langsung membalikkan badannya dan pergi tanpa pamit.

“Cie Shan, siapa tuh?” ledek Zia dengan menyikut Shania.

“Apaan deh, dia cuma partner gue doang,” sinis Shania. Shania kembali berjalan.

“Ya udah sih kalau cuma partner, biasa aja dong gak usah galak-galak. Nanti dia nya gak mau loh,” Zia berjalan cepat mensejajarkan langkahnya dengan Shania.

“Apaan sih Zi? Lo mah suka ngaco. Malah ya, gue tuh kesel pake banget sama dia.”

“Kenapa?” ujar Nara.

“Dia tuh orangnya dingin banget dan dia tuh jarang ngomong, Nar. Gue aja sampai capek kalau ngajak dia ngomong. Soalnya ya, kalau ngomong sama dia tuh selalu pake isyarat dan bawaannya pengen emosi aja gue.”

“Makanya jangan emosi terus. Nih ya gue kasih tau, cowok kaya gitu tuh lebih baik dicerewetin sama kata-kata lembut. Karena kalau terbiasa kaya gitu, lama-lama hatinya bakal cair dan dia bakal asik juga. Lo mah galak sih,” jelas Nara.

Shania menghentikkan langkah. Menghadap Nara sepenuhnya. “Apa? Enak aja tuh mulut kalo ngomong.” Shania menoyor kepala Nara sadis dan kembali berjalan.

Bibir Nara mengerucut lucu. “Ish,”

Zia tertawa melihat wajah Nara. “Eh tapi Shan, ada benernya omongan si Nara tadi. Coba aja.”

Shania mendengus. “Iya-iya nanti gue coba.”

Cuma demi lomba ini doang’ batin Shania.

-0-

“Ada yang mau tolongin Bapak gak?” tanya Pak Nurdin.

“Tolong apa Pak?” tanya salah satu murid.

Stay or LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang