[17] Sorry

33.2K 1.6K 5
                                    

     Pak Budi baru ingin membukakan pintu mobil saat anak majikannya itu langsung keluar. Berlari memasuki rumah besar dengan terburu-buru. Sopir rumah keluarga Heri yang  sudah mengabdi selama dua puluh tahun itu hanya menggeleng heran perihal cewek itu yang tadi minta jemput, di tol lagi.

     Gadis buru-buru membanting tubuhnya di sofa merah di sudut ruangan. Cewek itu mengeluarkan napas melalui mulut, terlalu sempit jika melalui hidung. Dan ini sudah berlangsung sejak tadi.

     "Loh non, Ibu sama Bapak dimana?"

     "Belum pulang."

     "Kok non udah pulang?"

     "Nggak betah."

     "Non --"

     "Ssshh.." dengan desisan, cewek itu mengangkat jari telunjuknya keatas. Menggerak-gerakan kekanan dan kekiri.

     Seketika mbak Ambar undur diri, membiarkan anak majikannya itu beristirahat. Mungkin kelelahan.

     Tapi Gadis tidak kelelahan, otak cewek itu sudah penuh hanya untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Mungkin, jika kejadian malam ini tidak terjadi, otak nya tidak akan sepenuh ini. Gadis meraba sofa di bagian ujung kakinya. Setelah mendapatkan bantal berbentuk persegi dengan warna merah, dipeluknya erat di atas perut. Manik matanya mengamati langit-langit tinggi warna putih dengan warna emas di bagian pinggirnya, lampu kecil di setiap pojok ruangan dengan lampu tengah yang besar berlapis batu-batuan kerlap-kerlip.

     Getaran sesuatu yang berada di slingbag menyadarkan Gadis bahwa ini sudah getaran ke berapa kalinya setelah getaran pertama lima menit lalu. Cewek itu baru ingin bergerak menjadi posisi duduk. Tapi entah kenapa, saat dia bergerak, tiba-tiba apa yang terjadi hari ini menjadi beban --otaknya bekerja lebih keras untuk mengulang kejadian hari ini tanpa bosan.

     Gadis mengangkat tangannya, menyentuh bagian pipi kirinya pelan. Syukur, getaran itu sudah hilang. Tapi yang terjadi setelahnya, adalah perasaan benci dan amarah yang menjadi satu, keinginan untuk mencabik-cabik cowok itu berubah menjadi nafsu. Gadis menerawang ; mungkin senang jika dia sempat mencakar-cakar wajah Raka saat cowok itu menurunkannya di sembarang jalan, tapi tiba-tiba rawangannya terhenti saat dimana, teringat kejadian nyata yang berlangsung hingga melukai pipinya. Gadis jadi bete, entah kenapa --diperlakukan seperti itu, membuatnya seperti memiliki harga diri rendah di mata Raka.

     Sebeneranya mudah untuk melupakan kejadian sekitar satu jam lalu. Tapi kemudian cewek itu merasa pesimis. kenapa? Dia baru sadar, bahwa kedepannya, kemungkinan untuk tidak bertemu dengan spesies kurang ajar itu 0%. Apalagi, yang paling mengerikan, adalah pernyataan bahwa cowok yang usianya tiga bulan lebih tua darinya itu, menjadi alasan Orang tuanya mengajaknya makan. Lagi, Gadis sadar, apa yang orang-orang tua bahas itu bukan hanya bisnis, tapi rencana pertunangan yang akan dilakukan secepatnya.

• • •

     Mungkin, bagi orang awam, Mendengar kata 'perjodohan' memang sesuatu yang sudah biasa. Tapi, untuk zaman sekarang, hal itu malah membuat suatu perdebatan dari sisi keluarga. Perjodohan biasanya dilibatkan dalam urusan adanya sesuatu. Bisa urusan bisnis atau karena hal lain. Begitu juga yang terjadi antara keluarga Pram dan keluarga Heri.

      "Raka?"

     Suara Rina menggema setelah dirinya membuka pintu, menghentikan anak lelaki yang barusan menaiki tangga.

     "Please sit in here, and hear me." Rina menunjuk sofa berwarna ungu muda, berniat duduk disana mengajak anak satu-satunya.

     Setelah menyampirkan jasnya di bahu kanan, cowok itu kemudian turun, menghampiri dimana Rina berada.

     "Kamu tahu? Bagaimana perasaan Mama ketika semuanya ini terjadi?" Wanita yang rambutnya dicepol itu mulai bicara, maniknya menatap dalam Raka yang sama sekali tidak berniat untuk duduk.

     "Sorry, when mom and father make you so angry," Rina mengusap sapu tangan putih dengan bordiran bunga di pinggir, tidak lagi memperhatikan anak kesayangannya. "Bukan maksud kami seperti itu. Tolong sekali-kali dengerin apa yang Papa sama Mama pengen."

     Anak lelaki itu belum mau membuka suara, namun tatapannya enggan berpaling dari Rina yang sesekali mengusap sesuatu yang turun dan matanya.

     "Ini memang baru sekali yang terjadi di keluarga ini. Ya karena anak Mama cuman kamu," Rina terkekeh dengan ucapannya sendiri, terlihat bahwa ia benar-benar menyayangi anaknya. Mana ada orang tua yang nggak sayang sama anaknya?

     "Kamu nggak pernah dengerin mama. Nggak pernah kasih kesempatan Mama untuk bicara seperti ini," dengan tarikan napas, Rina melanjutkan perkataannya lagi, "Waktu itu, Mama ketemu sama Tante Ami."

     "Kamu tahu apa yang Mama sama tante Ami bicarakan?" Rina bertanya, kini manik teduhnya menatap. "Tentang anak masing-masing. Mama sama kagetnya pas Ami bilang kalau Gadis itu berubah. Nggak kayak pas Tk. dulu feminim, tapi sekarang...tanda tanya ya?" Rina terkekeh, dan entah mengapa membuat cowok beriris cokelat itu tersenyum.

     "Mama sama Ami ngerasa cocok. Kami pikir, karena kalian satu sekolahan, jadi ya..udah kenal dekat,

     "Dan setelah itu Papa membatalkan perjodohan kamu dengan Oline. Karena Mama rasa, bakalan susah karena kalian juga belum ada memori."

     Raka tidak berniat membuka suara, menunggu sesuatu lagi yang keluar dari mulut ibunya, "We love you so much, darling. Tolong jangan pernah nyesel sudah lahir di keluarga ini."

     Sebelum benar-benar beranjak, Rina terlebih dulu mengusap rambut anaknya yang nampak kecokelatan, "Good Night."

     Raka membiarkan Rina berlalu begitu saja menuju kamarnya. Cowok itu langsung menghempaskan tubuhnya di sofa. Dasinya juga sudah longgar dan kancing kemeja putihnya sudah terbuka dua, memudahkan udara masuk dan membuat cowok itu sedikit relax.

     Kepalanya menoleh kebelakang, dan dapat dipastikan bahwa punggung ibu kandungnya masih terlihat disana. Raka menelan susah salivanya. Jujur, jantungnya berdetak cepat setiap kali mendengar kata yang keluar dari mulut Rina. ia merasa serpihan rasa amarah yang terkumpul begitu mudahnya luruh malam ini. Cowok itu memijit pangkal hidungnya, muncul berbagai presepsi bagaimana rasa kedua orang tuanya ketika Raka berkali-kali menyakitinya?
Percayalah, rasanya tak jauh berbeda dari disakiti secara fisik.

     Karena fisik dapat sembuh dengan sendirinya. Sedangkan disakiti dengan perbuatan dan tingkah laku? Dia akan senantiasa diingat meski sudah mengakui kesalahannya.

     Raka mengusap wajahnya gusar.

     "Good night too.." lirihnya, sebelum mengambil kunci dan memutuskan keluar.

• • •

Iya ini pendek..tahu kok ❤
Ekwk.
Makasih yg udah baca sampai sini! ❤

Big Love, Rengga
    

    

    

    

    

THE MOST WANTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang