If you love me, why you leave me?
***
Kaleng berwarna hijau dengan penutup yang telah terbuka tidak tersentuh oleh pemiliknya sejak sepuluh menit yang lalu. Bulir-bulir kecil yang memenuhi sisi kaleng lama-kelamaan mencair membasahi meja bening.
Hujan sejak pukul 6 pagi masih setia mengguyur Ibukota hingga tiga jam setelahnya. Meskipun tidak sederas tadi, tapi hal itu cukup menjelaskan bahwa minggu ke-3 bulan November tidaklah sebaik minggu-minggu sebelumnya.
Lagu I want you back terdengar lirih di telinga perempuan yang tengah bersandar pada kursi kayu. Kakinya menapak ubin berwarna biru, kedua tangannya saling berpangku dan tatapannya terlihat kelabu.
Suara ketukan pintu terdengar dari sudut ruangan, membuat Gadis tersentak dan refleks mengusap kedua pipinya secara bergantian.
"Can you hear me?"
Suara Gita yang lirih membuat Gadis menoleh dan mendapati sahabatnya itu berdiri kaku di ambang pintu.
"Oh My--lo habis nangis ya?"
Setelah Gita berkata seperti itu, perempuan itu langsung mendapat pelukan erat dari Gadis. Kedua tangannya yang membawa kantong plastik refleks terjatuh karena tangannya segera mengusap punggung perempuan itu.
Kabar putusnya hubungan Raka dan Gadis sudah menyebar di penjuru sekolah sehari setelah kejadian seminggu yang lalu, kebanyakan dari semuanya menyayangkan hal itu. Selain mereka sudah melihat keakraban kedua remaja itu, Raka dan Gadis kan, juga sudah tunangan.
Meskipun ada yang tidak peduli karena dari awal mereka pikir keduanya hanya mencari sensasi.
Dipelukan Gita, perempuan itu semakin deras mengeluarkan air matanya. Mengalahkan turunnya hujan yang terasa menyiksa. Sebenarnya, kedatangan Gita kerumah Gadis tak lain tak bukan adalah untuk menghibur sahabatnya itu, seminggu ini terlihat seperti orang yang tengah ditutuu kelabu.
"He --" ditengah isakannya, Gadis mencoba mengeluarkan suaranya, "left me."
"Sssstt." Kedua lengan Gita memapah Gadis untuk duduk ditepi kasur. "Gue ke sini mau main sama lo, bukan dengerin tangisan lo."
"Seharusnya gue nggak kayak gitu waktu itu." Gadis masih terisak dengan kedua tangan menutupi kedua wajahnya, "i love him --"
"Dis," sela Gita, "udah beberapa hari lo kayak gini. Nggak makan, dikamar terus, nggak berangkat sekolah karena sakit. Disini cuma ada gue sekarang, bonyok lo keluar kota, Yuna sama Diva ada acara keluarga. Lo mau denger siapa lagi selain gue?" Gita menghela napas. Merasa prihatin dengan keadaan sahabatnya itu.
Sedangkan Gadis masih terisak, namun telingannya mendengar ucapan Gita yang tidak pernah bosan seperti kaset rusak.
"Kalau dia udah pergi," kedua tangan Gita menyentuh pundak rapuh itu, "lo harus ikhlas."
"Segampang itu lo bilang?" Gadis menggeser duduknya perlahan, agak menjauh dari Gita dan kedua tangannya sudah turun.
"Gue juga pengen kayak apa yang lo bilang. Semuanya berjalan normal, nggak ada yang namanya nangis atau kayak orang gila begini, tapi kalau kenyataannya bilang semuanya nggak baik-baik aja, gue harus gimana?" Kedua pundak Gadis naik turun, napasnya terasa cepat dan tatapannya sendu.
"Lo nggak ngerti Git," air mata Gadis turun lagi, "ini bukan yang pertama kalinya buat gue, tapi ini yang kedua kalinya!"
Gita agak menyesal mengucapkan kata-katanya tadi, semuanya terasa tidak masuk akal. Dia tidak merasakan beban namun hanya bisa mengucapkannya. Tapi mengertilah, ia hanya tidak ingin melihat perempuan yang saat ini mengenakan kaus putih itu terluka lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE MOST WANTED
JugendliteraturCOMPLETE. (TAHAP REVISI) [WARNING! TERDAPAT BANYAK KATA-KATA KASAR]#130 In Teen Fiction 02-05-2017 #109 In Teen fiction 10-05-2017 #78 in teen fiction 22- 05-2017 * Siapa sih yang nggak kenal Gadis? Cewek berambut sebahu, mata bulat, bibir tipis. Iy...