'Kalimat yang dibutuhkan.'
"Eh, Lan. Devan kemana sih? Tadi habis pelajaran keluar gitu aja." Tanya Reova pada Alan di koridor sekolah.
"Gak tau tuh. Gak jelas emang tuh curut." Balas Alan acuh tak acuh. "Gimana kalo gue cari tempat duduk di kantin, dan lo pergi cari curut kesayangan lo itu?"
"Amit amit deh gue sayang sama curut. Tapi, gue cari deh. Lo ke kantin aja, daripada tambah rame nanti." Kata Alan menyetujuinya.
Alan bergerak kearah lapangan basket dan menyusurkan matanya ke satu per satu wajah anak anak, tetapi tidak menemukan Devan.
"Eh, lo liat Devan gak?" Tanya Alan kepada Rico, anak sekelas mereka, sekaligus anak basket yang sedang istirahat di pinggir lapangan.
"Rasanya tadi jalan kearah taman belakang deh." Balas Rico. "Thanks." Tanpa menunggu jawaban, Devan berlajan menuju taman belakang untuk menghampiri Devan.
Sesampainya di taman belakang, Alan melihat ke sekeliling dan melihat dua orang duduk berdampingan diatas rumput dan dibawah pohon. Hati Alan serasa tertusuk pisau tak kasat mata. Apa yang Devan lakukan disini? Apakah selama ini Devan dekat dengan Reava? Apa selama ini mereka berpacaran?
Berbagai pertanyaan negatif muncul di pikiran Alan. Alan menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya pelan, dan berjalan ke arah mereka. Saat langkahnya mulai mendekati mereka, Alan dapat mendengar pembicaraan mereka.
"Tapi, gue gak nganggep Kak Alan lebih dari sekedar temen, Kak. Duh, gimana dong?" Kata Reava. Alan dapat mendengar nada resah keluar bersamaan dengan ucapan perempuan itu.
Jantung Alan berdebar kencang seketika itu pula. Hatinya pun kembali tertancap pisau tak kasat mata lebih dalam, hingga menembus bagian terdalam. Cuma temen, Re? Lo yakin? Batin Alan tidak terima ketika kata 'gak nganggep Kak Alan lebih dari sekedar temen' keluar dari mulut Reava.
"Kenapa gak lo coba nerima dia di hati lo aja, sih?" Tanya Devan. Lalu Reava tampak menggelengkan kepalanya.
"Gue udah buat banyak kesalahan, dan gue gak mau kesalahan gue nambah hanya karena gue gak jujur sama perasaan gue sendiri. Sama aja gue nganggep Kak Alan pelarian kalo gitu." Ucapnya. Alan mengernyit tidak mengerti. Pelarian? Emang dia suka sama siapa? Batin Alan.
"Jujur, gue gak bisa suka sama orang lain kecuali Kak Reova, untuk saat ini." Lanjut perempuan itu. Alan tersenyum penuh keputusasaan. Dia suka sahabat lo, Lan. Sahabat lo. Bukan lo. Batin Alan lagi.
"Jadi, gue ditolak?"
Kata kata itu refleks keluar dari mulut Alan, tanpa dia sadari sama sekali. Reava dan Devan menoleh kearah Alan berada. Mereka kompak membelalakkan matanya. Ditambah reaksi gugup yang tampak dari wajah Reava.
"Gue ditolak ya, Re?"
Alan kembali menanyakannya. Kali ini bukan refleks. Dia memerlukan kejelasan dari Reava saat ini juga. Untuk apa dia memaksakan perasaannya jika tidak terbalas. Mungkin dia harus berhenti berharap kepada Reava jika jawaban Reava memang 'tidak'. Mungkin dia akan lebih cepat move on jika tidak memendam cinta terlalu lama. Mungkin... Hanya mungkin.
"Mmm... Gue.. Gue pergi dulu ya." Ucap Devan bangkit berdiri. Dia merasa kedua insan manusia ini perlu menyelesaikan masalah mereka berdua saja, tanpa dirinya.
"Reova nungguin lo di kantin. Kalo Reo cari gue, bilang gue ada urusan dan gak ke kantin." Ucap Alan sambil menatap Devan. Dan Devan membalasnya dengan acungan jempol, lalu berlalu dari taman belakang.
Setelah Devan pergi, suasana menjadi canggung. Sangat canggung. Reava tetap duduk di atas rumput dengan pandangan ditujukan ke jari-jari tangannya yang ada di pangkuannya dan Alan tetap berdiri sambil menatap Reava dalam.
"Re.. Lo belum jawab pertanyaan gue." Walaupun gue udah tau jawabannya. Lanjut batin Alan. Reava meremas jemarinya dengan jemari yang lain pertanda resah.
Alan menghela nafas panjang dan duduk tepat di hadapan Reava. Dia mengangkat wajah Reava agar menatapnya, lalu tangannya yang lain menggenggam kedua tangan Reava yang saling meremas satu sama lain. "Lo gak perlu gugup. Harusnya tuh gue yang gugup. Tugas lo cuma nolak gue dan gue yang ditolak, Re. Kenapa malah kayak lo yang mau ditolak?" Alan tertawa. Tawa palsu. Padahal kenyataannya, hatinya sedang menangis.
"Kak..." Ucap Reava memberanikan diri. Alan memandangnya dengan senyum. "Hm?"
"Maaf."
Satu kata yang menjelaskan segalanya. Tidak perlu kalimat lain yang akan memperjelasnya. Seolah kata maaf yang keluar dari mulut Reava adalah kata kunci dari rentetan kata penjelas yang akan keluar selanjutnya dari bibir perempuan itu.
"Gue bener bener gak tau, Kak. Gue gak mau nganggep lo sekedar pelarian. Gue tau gue munafik banget dengan karena keadaan gue yang suka sama orang yang disukai sahabat gue masih ngomong soal pelarian. Tapi---"
"Intinya?" Alan menatap Reava seolah tidak perlu kalimat sampah yang dia ucapkan.
"Gue gak bisa nerima lo, Kak. Maaf." Reava merasakan keadaannya sangat tidak mengenakkan. Menolak seseorang ternyata bukanlah perkara mudah seperti yang dia lihat saat beberapa teman perempuan sekelasnya menolak laki-laki. Hatinya penuh dan sesak oleh perasaan gugup dan tidak nyaman.
"Gue cuma butuh kalimat itu. Gue mundur. Makasih lo mau temenan sama gue." Ucap Alan sambil melepaskan genggaman tangannya dari tangan Reava.
Alan berjalan menjauh. Reava takut kalau-kalau sikap Alan akan berubah kepadanya. Saat Reava berdiri hendak menanyakan apa Alan marah padanya, Alan berbalik.
"Lo mau ke tempat Reo nembak bareng gue nanti malem? Rooftop apartemen Reo, kan tempatnya? Sekalian gue pinjemin bahu kalo lo mau nangis."
Reava membulatkan matanya. Mengapa ada laki laki yang begitu baik seperti Alan. Alan bahkan menawarkan bahunya untuk tempatnya menangis.
"Gapapa, Kak?" Reava sedikit ragu kalau Alan malah akan kembali berharap nantinya.
"Gapapa. Gue harus berdamai sama hati gue juga, kan? Gue gak akan melibatkan hati gue lagi kok. Maksudnya.. Berusaha tidak melibatkan." Alan tersenyum lebih tulus dari sebelumnya. Dia memang harus berdamai dengan masa lalu. Kalau Alan terus menghindarinya, kapan dirinya akan mencapai kedewasaan?
"Oke. Gue ikut." Reava tersenyum. "Mmm.. Jangan berharap lagi ya, Kak." Lanjutnya.
"Tenang aja. Nanti lo yang bakalan berharap sama gue." Kata Alan dilanjutkan tawa. Reava tersenyum, "Gak akan. Mau taruhan?" Seringai perempuan itu. Lalu tawa keduanya pecah bersama. Melepas kecanggungan yang ada di antara mereka.
"Udah, ah. Ayo ke kelas. Keburu bel. Nanti gue jemput di rumah lo." Alan berjalan di depan mendahului Reava. Sementara Reava hanya mengekor di belakang Alan menuju kelasnya sendiri.
"Weitss.. Kalian jadian nih, kok senyum senyum?" Kata Devan saat Alan bertemu dengannya dan Reova di koridor karena melihat sisa tawa dari mereka berdua. Reava yang ada di belakangnya langsung menghentikan langkahnya. Sama sekali tidak mendekat dan berniat masuk ke dalam pembicaraan para lelaki itu. Dia pergi kearah kelasnya dengan jalur memutar.
"Nggak semua akhir yang sedih membawa kesedihan, begitu juga sebaliknya." Ucap Alan langsung merangkul kedua sahabatnya saat melihat Reava pergi.
"Kita baru aja mau nyusulin lo. Barangkali lo gak menerima keadaan lo yang ditolak, trus lo ngelakuin yang iya-iya ke Reava, kan bahaya." Ucap Devan lagi.
"Iya-iya apaan coba. Lo kebanyakan nonton Fifty Shades Darker sih. Sampe adegan begituannya lo ulang-ulang." Balas Alan.
"Sialan lo. Banyak orang. Gausah bongkar aib." Devan mendorong Alan menjauh darinya.
Sementara itu, Reova hanya terdiam. Dia tetap cemas memikirkan nanti malam. Dia takut jika dia ditolak, atau Evelyn tidak menyukai kejutannya. Dia menarik nafas dalam lalu menghembuskannya, mencoba menenangkan diri dari semua kecemasan dan kegugupannya.
★★★★★★★★
Hai haii... New chapter:))
Vomments yang banyak yaa.. Biar aku makin semangat nulisnya:D
Callista

KAMU SEDANG MEMBACA
Reova & Reava
DragosteReova Edward Julian, aktor muda terkenal yang sudah melangkah ke dunia internasional. Devan Enrico Stevenson, sahabat sang aktor muda, Reova, yang juga seorang model. Dia berurusan dengan Reava karena ingin Reava berkarier sama dengannya. Reava Vale...