'Dua orang, dua hati, dua perasaan, dan satu pilihan.'
Langit sudah berubah warna menjadi jingga kemerahan, dan matahari suka mulai menuju ke ufuk barat. Bulan mulai bersiap menerangi malam. Dan ada lima orang yang juga bersiap dengan berbagai alat dan bahan untuk makan malam mereka.
"Re, Dev... Lo berdua ambil pemanggang buat barbeque di bagasi mobil ya. Vin, kamu sama Reava bersihin halaman, terus kasih matras buat tempat kita duduk nanti."
"Oke!"
"Gue ke dalem dulu, mau mandi."
"ENAK DI LO-NYA DONG!!!" Teriak keempat orang yang sudah akan berjalan melaksanakan apa yang diperintahkan Olivia, ketika mendengar Olivia berkata 'Gue ke dalem dulu, mau mandi.'
Mereka berempat kompak mendengus kesal. "Lo... Siapin bahan makanannya ntar habis mandi. Awas kalo sampe enggak!" Tunjuk Devan pada Olivia, lalu mengajak Reova mengambil alat barbeque yang tadi dikatakan Olivia.
Sedangkan Reava berjalan beriringan dengan Alvin menuju ke halaman untuk membersihkan daun daun kering, serta mengangkat matras untuk diletakkan disana.
"Cuacanya gimana nih, Kak?" Tanya Reava kepada Alvin, sambil menatap langit senja. Alvin yang ditanya langsung saja ikut menolehkan pandangannya kearah langit, "Enggak ada awan. Bintang juga udah mulai keliatan. Kemungkinan besar cuacanya cerah." Tanggap Alvin. Reava hanya mengangguk dan mulai menyapu halaman dengan sapu lidi yang dibawanya.
"Re..."
"Hm?" Reava menoleh kepada kakaknya yang memandangnya.
"Kamu... Terjebak kisah cinta yang rumit." Ucap Alvin, entah itu pernyataan atau pertanyaan. Karena ucapan Alvin diungkapkan dengan nada yang benar benar gamang.
"Hah? Maksudnya?" Balas Reava heran. Reava menghentikan kegiatannya menyapu dedaunan kering.
"Kamu suka salah satu dari Devan atau Reova?" Tanya Alvin tanpa berbasa basi lagi. Wajah Reava langsung berekspresi heran ketika kakaknya menanyakan hal itu.
"Memangnya ken---"
"Jawab aja." Ucap Alvin sambil duduk bersila diatas matras, dan memberikan isyarat Reava untuk duduk disampingnya. Reava duduk, tetapi dia tidak menjawab pertanyaan Alvin. Bukan karena enggan, bukan juga karena takut. Tapi dia bingung.
"Kenapa diem, Re?" Alvin mengelus rambut adiknya perlahan. Pantas saja Olivia menyukai kakaknya ini. Selain tampan, mapan, humoris -walaupun bercandanya tidak jauh dari kemesuman kaum lelaki-, romantis, sabar, kakaknya juga bisa bersikap dewasa, contohnya disaat seperti ini.
"Kakak enggak ngelarang kamu jatuh cinta sama mereka, kok. Jadi kamu enggak perlu menahan perasaan kamu ke salah satu dari mereka." Ucap Alvin, lalu laki laki itu terdiam menunggu jawaban adiknya.
"Aku... Aku gak tau." Ucap Reava. Dia memijat pelipisnya dan menampakkan ekspresi bingung. Pandangannya kosong, menatap ke depan. "Dua orang itu... Bisa bikin perasaan aku beda, Kak." Lanjutnya. Kalimat itu membuat Alvin tersenyum.
"Kamu suka mereka merdua kan?" Ucap Alvin. Dan tanpa menunggu jawaban Reava, Alvin langsung menimpali ucapannya, "Pasti kamu suka mereka berdua."
Reava menoleh menatap kakaknya. "Tapi.. Kalo cinta?" Ucap Alvin. "Kamu hanya bisa, dan harus, memilih salah satu. Kamu gak bisa -walaupun kamu ingin- cinta ke dua orang bersamaan. Pasti ada salah satu yang lebih kamu prioritaskan."
"Devan lebih baik sa---"
"Bukan masalah siapa lebih baik, siapa lebih deket, tapi ini masalah siapa pilihan hati kamu. Semuanya tinggal kamu pilih siapa. Karena mereka udah menjatuhkan pilihan hatinya ke kamu." Kata Alvin. Reava mengerutkan alis tidak mengerti.
"Maksudnya, Kak?"
"Udahlah... Ayo kita nyapu lagi. Keburu mak lampir dateng sambil marah marah." Kata Alvin mengalihkan pembicaraan. Dia sudah mengatakannya. Masalah sisanya, bukan urusannya lagi.
"Siapa yang lo bilang mal lampir, hah?!" Kedua kakak beradik itu seketika membatu dan meolehkan pandangannya kearah belakang dengan efek slow motion.
"E-enggak kok sayang. Kamu itu kan malaikat." Alvin tersenyum garing. "Alah! Bullshit!" Seru Olivia sambil berjalan mendekat dan memukul Alvin.
"Eh, gue mandi dulu ya. Kalian lanjutin nyapunya. Jangan kebablas bercandanya. Ntar kelepasan bahaya." Canda Reava, lalu dengan langkah seribu, perempuan itu berbalik dan berlari menghindar tatapan membunuh kedua orang di belakangnya.
★★★★★★★★
Reova dan Devan sedari tadi hanya berjalan dalam diam. Tidak ada yang membuka suara. Walaupun sepertinya, mereka berdua sama sama punya topik menarik. Dan topik yang ada di pikiran mereka pastilah sama. Reava.
"Dev." Reova membuka pembicaraan. Devan menoleh. "Lo, suka sama Reava sejak kapan?" Tanyanya.
"Sejak hayat dikandung badan." Balas Devan cuek. "Gue serius!" Seru Reova sambil terkekeh singkat, lalu wajahnya menunjukkan keseriusan.
"Iya iya. Gue suka sama Rea sejak gue satu agensi sama dia. Orangnya baik, supel, humoris, apalagi cantik dan pinter. Kalo lo belum tau, Reava lanjut sekolah dan kuliah di London. Pake jalur beasiswa, yang gue enggak tau dapetnya darimana. Dia ambil jurusan hubungan internasional." Ucap Devan panjang lebar. "Lo sendiri? Sejak kapan lo menyadari perasaan lo ke Reava?" Tanya Devan.
"Sejak dia hilang. Gue cari dia kemana mana, tanya ke banyak orang, tapi enggak ada yang tau. Termasuk lo yang dulu pura-pura gak tau waktu gue tanyain." Sewot Reova. Devan hanya terkekeh sambil memandang outlander di depannya. "Kebohongan itu perlu, man. Lagian dia juga berniat pergi karena sakit hati sama lo. Dia suka sama lo, eh lo malah suka sama yang lain. Daripada dia gak punya tujuan, mending gue kasih tujuan."
Tangan Reova yang memutar kunci untuk membuka bagasi seketika terhenti. "Rea suka sama gue?!" Serunya. Devan yang mendengar seruan itu hanya tersenyum. Shit, keceplosan! Batinnya dalam hati.
"Gue sama Alvin udah bilang, kan. Lo nya aja yang enggak peka sama keadaan. Kalo lo peka, lo juga dengan mudah tau penyebab Rea pergi. Semuanya berhubungan Re. Lo nembak Evelyn dengan minta bantuan dia. Dia yang nolak Alan bahkan sebelum Alan nembak, di---"
"Tunggu! Lo bilang tadi, Alan ditolak? Karena gue?" Tanya Reova ragu. Devan memutar bola matanya kesal. "Ya gara-gara siapa lagi."
"Shit." Umpat Reova pelan. "Kenapa gue enggak tau semua ini?"
"Karena lo gak peka." Kata Devan santai sambil mengangkat alat pemanggang, sementara Reova bergerak meraih boks berisi pencapit dan kawan kawannya, lalu menutup bagasi.
Mereka berjalan menuju ke halaman dengan terdiam lagi. Tetapi kali ini tidak terlalu lama, karena Devan membuka pembicaraan, "Jadi.. Lo tau kan, kesempatan lo dapetin, oh bukan, ngambil lagi hatinya itu lebih besar daripada gue. Gue juga tau apak hal itu. Dan gue enggak menyerah hanya karena lo pernah disukai Reava."
Keduanya bertatapan sambil menampakkan seringai yang sama. "Gue juga enggak akan menyerah buat ngambil lagi hati dia. Gue bakal nembak dia hari ini." Ucap Reova sambil merubah seringaian menjadi senyuman. "Apapun jawaban dia, gue terima."
"Kalo gitu, gimana kalo gue juga nembak dia hari ini. Kita liat, siapa yang Reava pilih." Balas Devan.
"Deal!" Ucap Reova menatap tajam kearah Devan.
"Lo tau... Gue yakin dia sayang sama kita berdua." Kata Reova. "Tapi.. Lo juga pasti tau, pilihan hatinya pasti cuma satu dari kita berdua berdua, right?"
"Right." Balas Devan sambil menatap balik Reova dengan tajam.
Keduanya memang tidak menggunakan otot lagi untuk menyelesaikan masalah, walaupun mereka sangat ingin. Karena mereka tau, apapun pilihan mereka, mereka akan tetap menjadi teman. Dan mereka tidak mau saling menjauhkan diri seperti remaja labil. Karena mereka sudah dewasa sekarang, berbeda dengan 10 tahun lalu.
★★★★★★★★
Duh... Kenapa para lelaki disini dewasa banget ya? Beda banget sama kenyataan #true?
Vomments yang banyak yaa, biar aku makin semangat nulis..:D
Callista
KAMU SEDANG MEMBACA
Reova & Reava
RomanceReova Edward Julian, aktor muda terkenal yang sudah melangkah ke dunia internasional. Devan Enrico Stevenson, sahabat sang aktor muda, Reova, yang juga seorang model. Dia berurusan dengan Reava karena ingin Reava berkarier sama dengannya. Reava Vale...