Lona masuk ke ruang rawat mamanya. Dilihatnya wajah mamanya yang begitu pucat. Tak ada senyum diwajahnya. Benar-benar terlihat tenang. Lona memengang telapak tangan ibunya. Tak ada kehangatan disana.
"mama, bertahan ya. Lona tahu mama kuat." Satu persatu air mata mulai menetes. Namun , Lona segera menghapusnya.
Andai saja saat ini Lona seperti putri duyang yang terdapat dalam film-film. Yang mana air mata yang menetes dapat menyembuhkan mamanya. Lona pasti akan terus menangis hingga mamanya kembali sembuh.
Andai saja saat ini Lona adalah seorang pangeran yang terdapat dalam dongeng putri salju. Lona pasti akan terus menciumi mamanya hingga mamanya siuman.
Namun sayangnya semua itu hanya ada dalam cerita dongeng atau sebuah film-film. Semua itu tak nyata. Bahkan tak masuk akal.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Ayahnya masih tak kunjung datang. Lona pun memutuskan untuk duduk di kursi tunggu yang terletak di depan ruangan ibunya di rawat.
Diihatnya layar ponsel. Tak ada tanda-tanda seseorang menelpon dirinya. Jujur saja, Lona butuh teman malam ini.
###
Alva POV
Gue berjalan masuk rumah sakit. Berjalan melewati selasar-selasar ruangan. Mungkin kalian bingung kenapa gue masih keluyuran di rumah sakit padahal sudah pukul 12 malam.
Perkenalkan, Nama gue Alvarendra Arthemus Muraco. Tapi kebanyakan orang hanya tahu nama gue Alvarendra Arthemus, tanpa embel-embel Muraco. Bokap gue Dokter dan sekaligus pemilik rumah sakit ini. Tapi, gue termasuk anak yang tak dianggap. Orang tua gue udah ngasih gue kebebasan yang penting temen bokap dan nyokap gue gak tahu kalau gue anaknya seorang dokter Elonio Bhaskar Muraco.
Dari jauh gue lihat seorang cewek duduk di sebuah kursi tunggu. Gue gak tau itu manusia atau hantu. Rambutnya panjang terurai dengan posisi kepala tertundung. Wajahnya pun tak terlihat.
Gue beranikan diri mendekatinya. Kalau itu cewek cantik ya berarti gue lagi beruntungan. Tapi kalau itu hantu , berarti gue lagi apes.
"mbak, permisi mbak." Wajahnya sedikit demi seditik terangkat. Hati gue jadi dag dig dug 'kalau ini seten gimana nih?!' gue terus berpikir begitu.
"aaaaa... lo lagi. Kenapa sih dimana-mana selalu ada lo? Lo ngikutin gue ya?" gue kesel. Emang sih itu cewek manusia, cantik. Tapi lebih mirip manusia jadi-jadian.
"ih, apaan sih lo? Gue lagi gak mood bertengkar sama lo." Cewek itu terihat lebih judes dari biasanya.
"yee, siapa yang ngajakin bertengkar?" gue berusaha mengelak. Entah kenapa setiap ketemu dia rasanya gue pengen lihat dia ngomel-ngomel gak jelas. Rasanya makin cantik aja gitu.
Kini cewek itu diam. Tanpa sepatah kata pun tak terdengar dari mulutnya. Bahkan tak satu huruf pula.
Gue mulai memberanikan diri duduk disampingnya. Gue lihat wajahnya tampak pucat. Dia tampak tak bersemangat."lo kenapa?"
Dia pun menolehkan wajahnya. Matanya menatap gue. Tampak sorot kesedihan disana. "mama gue kecelakaan. Dia butuh transfusi darah sekarang."
Gue tampak heran. "kenapa gak lo aja yang donorin darah lo?"
Dia menggeleng pelan.
Entahlah. Gue enggak ngerti apa yang dia maksud. Gue juga enggak ngerti jalan pikiran dia. Entah apa alasan dia enggak mau donorin darahnya untuk mamanya. Entahlah, gue juga enggak tahu.
Kini kami hanya diam. Tanpa sepatah kata. Bahkan huruf pula.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEVERANDAY
Short Story#800 in Short Story (14 Juni 2017) Setiap individu punya alasan. Alasan lebih memilih untuk mencintai, alasan lebih memilih untuk tetap bersama, alasan lebih memilih untuk diam, bahkan alasan lebih memilih untuk berlalu.