"Loh, kok berhenti?" Tanya Lona yang merasa keheranan melihat sekelilingnya.
"Kita udah sampai." Lona mengerutkan keningnya. Ia masih tak percaya.
"Kata lo kita mau ke desa nenek lo." Lona menahan tangan Alva ketika Alva hendak keluar dari dalam mobil. Ia butuh kejelasan.
"Ini desa nenekku." Ia mengarahkan pandangannya ke tangannya yang masih di genggam Lona.
Lona yang tersadar bahwa ia masih menggenggam tangan Alva seketika melepaskannya. "Serius? Tapi disekitar sini rumahnya mewah-mewah banget. Lo nggak bohongin gue?"
Alva tertawa ketika Lona mengiranya membohongi dirinya. "Aku bukan pembohong. Ini itu desa yang udah maju. Tapi yang namanya desa ya tetap desa. Sama separti perasaan aku ke kamu. Kalau udah cinta ya tetap cinta."
Mendengar perkataan Alva yang mulai ngelantur, Lona mendorong tubuh Alva dengan sekuat tenaga. Hingga Alva hampir saja terjatuk ke dalam selokan yang terdapat di depan pagar rumah neneknya. Untung saja ia dengan sigap berpegangan pada mobilnya. "Kejam banget sih. Untung aja aku enggak jatuh ke selokan."
Lona menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Ia benar-benar tak menyadari keberadaan selokan disana. "Biarin, kalau lo jatuh gue sih senang." Ucap Lona kemudian tertawa sekuat-kuatnya.
Tanpa bicara sepatah kata pun, Alva turun dari mobilnya dan memasuki halaman rumah neneknya. Melihat tingkah Alva yang diam dan langsung saja pergi meninggalkannya membuat Lona sedikit takut.
Ia segera turun dari mobil dan mengejar Alva. "Alvarendra Arthemus Muraco." Teriaknya sambil berusaha mengejar Alva.
Alva tak menghentikan langkahnya. Ia tak memperdulikan Lona yang mengejarnya. Ia terus berjalan. Namun dengan langkah yang sedikit melambat.
"Alva, lo marah ya sama gue?" Tanya Lona yang sudah berada dalam posisi sejajar dengannya.
"Enggak." Jawab Alva singkat.
"Kalau enggak marah, berarti lo ngambek?" Tanya Lona lagi karena merasa tidak puas dengan jawaban Alva.
"Enggak." Jawab Alva lagi dengan jawaban yang sama dengan sebelumnya.
"Terus lo kenapa diam?" Tanya Lona lagi. Mungkin Lona akan berhenti bertanya jika ia mendapatkan jawaban yang bisa memuaskannya.
Alva menghentikan langkahnya. Begitu pula Lona. "Gue enggak kenapa-kenapa."
"Tukang bohong. Biar aja ntar lo digigit sama kambing ompong." Lona melipat tangannya di depan dada.
Alva mendekatkan jarak antara wajahnya dan wajah Lona. "Dasar Lona cerewet. Lagian mana ada kambing ompong bisa gigit." Kemudian Alva kembali berjalan meninggalkan Lona yang masih terdiam.
Lona tak mau terus berdiam diri. Ia pun segera mengejar Alva. "Assalamu'alaikum." Ucap mereka berdua secara serempak setelah sampai di depan pintu.
"Wa'alaikumsalam." Seorang wanita tua berjalan ke arah pintu. Disusul gadis remaja yang kira-kira seumuran dengan Alva dan Lona.
"Eh Alva udah datang. Sama siapa? Pacarmu?" Tanya wanita tua tersebut sambil menunjuk ke arah Lona.
"Dih, Alva enggak mau pacaran sama dia nek? Alva takut di cincang-cincang." Ucapnya sambil terawa. Mendengar pekataan Alva, Lona refleks mencubit lengan Alva. "Aduh. Tuh kan nek. Alva di cubit."
Nenek Alva tertawa melihat sikap Alva yang masih belum juga berubah.
"Nama saya Lona,nek." lona menjulurkan tangannya dan disambut oleh wanita tua tersebut.
"Saya neneknya Alva." Nenek Alva tersenyum hangat.
"Nek, itu siapa? Cantik." Alva menunjuk seorang gadis remaja yang berdiri di belakang neneknya.
"Kamu lupa?" Tanya neneknya kepada Alva.
"Tunggu. Biar Alva coba Ingat." Alva berpikir sejenak. Ia yakin ia mengenal gadis itu. "Oh, Weni ya? Weni Safira?"
Gadis itu tersenyum, "iya ak." Gadis itu kemudian bersalaman dengan Alva dan Lona. Ia terlihat ramah.
"Nek, Weni pamit pulang dulu ya." Kemudian weni mencium tangan nenek Alva.
"Eh, mau kemana?" Alva menahan kepergian Weni dengan cara memegang tangan gadis itu.
Weni tertunduk malu. Sedangkan Lona mengerutkan keningnya. Ia heran melihat kelakuan Alva kali ini.
"Mau pulang ak. Nanti sore Weni kesini lagi." Ucapnya sambil berusaha melepaskan tangan Alva yang memegang tangannya. Ia pun kemudian pergi meninggalkan Neneknya Alva, Alva, dan Lona.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVERANDAY
Short Story#800 in Short Story (14 Juni 2017) Setiap individu punya alasan. Alasan lebih memilih untuk mencintai, alasan lebih memilih untuk tetap bersama, alasan lebih memilih untuk diam, bahkan alasan lebih memilih untuk berlalu.