Lona telah selesai melewati prosedur-prosedur pendonoran darah. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya.
Lona pun pergi menuju ruangan mamanya dirawat. Dilihatnya ada dua sosok lelaki di depan ruang rawat mamanya. Lelaki itu tak lain adalah Alva dan papanya Lona.
Lona berlari mendekati papanya.
"Papa." Lona mencium tangan papanya. "Lona kangen sama papa."Papa Lona mengelus kepala Lona. "Papa juga kangen Lona. Kamu menepati janji kamu?"
Lona mengangguk. "Papa tau mama di rawat di rumah sakit ini dari siapa?"
Papa Lona mengerutkan keningnya. "Kamu ini, masih muda sudah pelupa. Tadi kamu yang balas pesan dari papa. Jadi kamu yang bilang papa kalau mama di rawat di rumah sakit ini kan."
Lona pun ikut mengerutkan keningnya. Kemudian ia melirik ke arah Alva.
Alva menunjukkan wajah tak berdosa dan dibalas pelototan oleh Lona.
"Emh,jadi gini,om,Lon. Tadi ponsel Lona bunyi. Terus saya lihat ada pesan dari om. Ya, saya balas aja. Kan kasihan kalau om harus bolak-balik masuk rumah sakit untuk mencari tante. Sang istri tercinta." Alva nyengir seperti tak berdosa.
Tiba-tiba Lona menjitak kepala Alva.
"Auu...." Alva mengelus kepalanya, "sakit."
"Biarin" Lona melipat kedua tangannya di depan dada.
Papa Lona tertawa, "eh, Lona. Enggak boleh galak sama pacarnya."
Lona membulatkan matanya
"Tuh dengarin kata papa kamu. Enggak boleh galak sama pacar. Nanti kalau aku pergi gimana?" Alva benar-benar terlihat santai. Bahkan mungkin ia sangat menikmati dramanya.
"Gue gak peduli. Mau lo pergi, di makan buaya, di terkam harimau. Terserah." Lona menjitak kepala Alva lagi. Bahkan berulang kali.
"Cie mengakui aku sebagai pacar." Alva selalu senang menggoda Lona. Mungkin itu kebahagiaan tersendiri baginya.
"Sudah, sudah. Jangan kelahi. Papa masuk ke dalam ruangan dulu ya." Papa Lona bangkit dari kursi dan masuk kedalam ruang rawat istrinya.
Setelah papa masuk. Lona diam-diam mencubit Lengan Alva.
"Auu... Apasih cubit-cubit aku, sayang. Sakit." Alva mengerucutkan bibir dan mengelus lengannya. (Oke ini ekspresi menjijikkan dari Alva)
"Maksud lo apa ngaku-ngaku sebagai pacar gue." Lona merasa kesal kepada Alva.
"Enggak apa-apa dong. Siapa tahu kita direstuin." Tangan Alva mengacak-acak rambut Lona.
"Iih. Amit-amit." Lona pun merapikan rambutnya kembali dan pergi meninggalkan Alva. Ia tak mau sampai emosinya meledak di depan Alva.
Setidaknya Alva sudah membantunya menjaga sang mama tercinta.
Thanks Alva.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVERANDAY
Nouvelles#800 in Short Story (14 Juni 2017) Setiap individu punya alasan. Alasan lebih memilih untuk mencintai, alasan lebih memilih untuk tetap bersama, alasan lebih memilih untuk diam, bahkan alasan lebih memilih untuk berlalu.