Lona berjalan menuju musholla yang terletak di halaman depan sekolah. Kali ini ia harus menunggu papanya yang entah kapan papanya akan datang.
Ia sendiri. Tak bersemangat seperti biasanya. Tidak pula seperti 11 jam yang lalu. Saat ia masih dirumah.
Sekolah sudah mulai sepi. Satu per satu siswa-siswi SMA Dasa Dharma pulang ke rumahnya masing-masing. Namun Lona masih tetap diam di sana dengan harapan sang papa tidak lupa menjemput dirinya.
Tiba-tiba sebuah motor ninja hitam berhenti di depan Lona. Pengemudinya membuka kaca helm dan tersenyum kepada Lona. Namun Lona tak membalas senyum tersebut. "Hei. Kenapa dari tadi kamu cemberut? Aku tak suka melihat kamu cemberut."
"Hei" Lona memperhatikan wajah laki-laki tersebut. "Lo Alva? Sejak kapan lo ngomong pakai aku-kamu?"
Laki-laki itu mengangguk tersenyum kecil. "Sejak aku mau bicara seperti itu. Ah kamu ini, aku bertanya, bukannya kamu jawab malah balik bertanya. Jawablah pertanyaanku, kenapa kamu cemberut?"
"Enggak kok, aku enggak cemberut. Kamu saja yang sok tahu." Lona merapikan rambutnya.
Alva diam sejanak memikirkan sesuatu. Sepertinya ada yang aneh dari perkataan Lona. "Hei, sepertinya tadi kamu ngomong pakai aku-kamu juga. Nah tetaplah menggunakan kata aku-kamu karena kamu jadi terlihat lebih cantik."
Lona tertawa mendengar perkataan Alva. Alva memang selalu begitu. "Ah lo ada-ada aja." Lona tertawa lagi ketika ia memikirkan betapa lucunya ia berbicara menggunakan kata kamu dan aku.
Alva pun ikut tertawa. "Aku serius. Kamu pasti akan terlihat lebih cantik. Kenapa kamu belum pulang?"
Lona menghembuskan nafas lelah. "Belum di jemput."
Alva mengerutkan keningnya. "Kenapa tidak menelpon papa?"
"Papa? Hei sejak kapan papa gue menjadi papa lo?" Lona mengeluarkan ponselnya dan menunjukkannya kepada Alva. "Ponsel gue mati."
"Innalillahi." Ucap Alva setelah mendengar perkataan Lona.
Lona mengerutkan keningnya "Kenapa lo berkata kayak gitu?"
"Katanya ponsel kamu mati." Alva tertawa sedangkan Lona langsung mencubit lengan Alva. "Apasih cubit-cubit. Sakit nih lengan aku."
"Gue gak peduli." Lona melipat kedua tangannya di depan dada.
"Yaudah. Yuk naik." Ucap Alva tiba-tiba.
Lona yang bingung karena ia tidak tahu Alva berbicara dengan siapa menoleh ke kanan dan ke kiri.
Alva berdecak melihat tingkah Lona. "Hei, kamu mencari siapa Lona? Ayolah Lona, cepat naik. Sudah sore nih."
Mendengar Alva menyebut namanya, Lona menunjuk dirinya dengan jari telunjuknya. "Gue?"
"Iya tuan putri." Alva tersenyum. Namun kali ini senyuman itu lebih tepatnya disebut senyuman mengejek.
Lona naik ke atas motor dan memukul pundaknya. Karena di SMA Dasa Dharma memiliki peraturan bahwa semua murid harus menggunakan celana panjang. Jadi, Lona tidak perlu bersusah payah menaiki motor ninja hitam milik Alva. "Ayo pak, jalan."
Alva tertawa untuk kesekian kalinya. "Emangnya aku tukang ojek."
Lona pura-pura berpikir, "em, cocok sih."
Mereka terus berbicara sepanjang perjalanan. Sambil sesekali Lona menunjukkan arah rumahnya.
"Stop!" Lona menepuk-nepuk pundak Alva untuk memberi tanda bahwa mereka sudah sampai di depan rumah Lona.
Lona melihat papanya sedang mencuci mobil miliknya di halaman depan rumah. Berarti kecurigaannya benar bahwa papanya lupa menjemput dirinya.
Melihat Lona yang berdiri di depan pagar bersama Alva, papa Lona seketika berteriak. "Astaghfirullah." Papa Lona berlari mendekati Lona. "Papa lupa jemput kamu nak."
Lona dan Alva tertawa. "Enggak apa-apa kok om. Biar setiap pulang sekolah Lona saya yang antar." Lona membulatkan matanya mendengar perkataan Alva. "Yaudah om, Lona. Saya pamit pulang. Salam buat tante Sera. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam." Ucap papa Lona dan Lona serentak.
Alva melajukan motornya pulang kerumahnya. Namun Lona terus memikirkan semua perkataan Alva. Lona tak tahu apakah perkataan Alva benar ataukah hanya berniat menggodanya saja?! Kalimat tadi terus berputar dikepalanya.
'Alva. Kamu selalu saja merusak konsentrasiku.'
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVERANDAY
Short Story#800 in Short Story (14 Juni 2017) Setiap individu punya alasan. Alasan lebih memilih untuk mencintai, alasan lebih memilih untuk tetap bersama, alasan lebih memilih untuk diam, bahkan alasan lebih memilih untuk berlalu.