(Bab 2/Part 4) memori es

117 36 15
                                    

Alva POV

Waktu itu gue sedang duduk bersantai sambil menggoda cewek cantik yang duduk disebelah gue. Playboy? Eits, gue bukan playboy. Gue hanya mencintai cewek-cewek cantik.
Ketika sedang asyik bercanda, gue melihat seorang cewek terjatuh. Tapi, gue gak tahu dia siapa. Karena posisinya pada saat itu membelakangi gue.
Gue berlari mendekatinya. Tubuhnya telah terbaring di lantai. Gue pun melihat wajahnya.

LONA, si cewek aneh.

Awalnya gue berniat meninggalkannya karena gue malas berurusan lagi sama dia. Tapi karena jiwa kemanusiaan gue yang tinggi, akhirnya gue dengan sangat terpaksa mengangkatnya ke UKS.

Gue letakkan tubuhnya diatas kasur dan gue olesi pelipisnya dengan minyak kayu putih.

Tak lama datang seorang cewek cantik. Dia mengaku sebagai sahabat Lona. Gue pun mempersilahkan dia masuk.

"hai, aku Alva." Gue Cuma bisa cengengesan dihadapannnya. Maklum, lagi berhadapan dengan cewek cantik.

"ha? Oh, gue Izza. Sahabatnya Lona." Ia tersenyum.

'Ya Tuhan, senyumnya membuat kecantikannya sempurna.'

"iya, kan udah dibilang tadi kalau kamu sahabatnya Lona." Gue duduk dikursi yang terletak di sebelah Izza. "kamu cantik,baik. Kok kamu mau sahabatan sama lona?"

Lagi-lagi dia tersenyum. Namun kali ini hanya tersenyum tanpa sepatah kata pun.

'Oh Tuhan, dia adalah calon istri idaman setiap pria.'

"boleh minta nomor HP? Kalau gak boleh, pin BBM juga gak apa-apa. Kalau gak boleh juga, akun instagram juga gak apa-apa atau alamat rumah juga gak apa-apa deh." Gue berharap dia ngasih semuanya. Semuanya? Harapan lo ketinggian,Va.

Dia membuka dompet dan mengeluarkan sebuah kartu. "nih, kartu nama gue."

'ternyata selain cantik dia juga anak orang kaya. Perfect girl.'

"Izza Arghya Asvathama. Namanya cantik secantik orangnya." Gue tahu ini adalah matra yang paling disukai seorang cewek.

"ah, bisa aja lo." Dia tertunduk malu, "lo gak balik ke kelas?"

"gak. Aku mau nemenin bidadari yang lagi jagain mak lampir disini. Boleh gak?" Alis gue naik turun tanda meminta persetujuan.

"dih, jahat banget lo manggil temen gue mak lampir." Dia tertawa pelan, "iya."

"iya apa? Diterima jadi pacar?" gue mengerutkan dahi.

Dia tertawa terbahak-bahak, "gak. Bukan itu maksud gue. Maksudnya boleh kok kalau lo mau nemenin gue disini."

"oh kirain mau jadi pacar." Gue tersenyum tipis.

Akhirny pangeran dan bidadari terus menunggu hingga mak lampir tersadar.

SEVERANDAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang